A. Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
Tak
dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat
didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang
dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu
tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana
yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran,
suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah
situasi damai.
Oleh
karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme
adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal
manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis
mengenai sebab dan akibat.
Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui
bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada
adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka.
Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai
itu. Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang
alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang
menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif
itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran
agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa
berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat
pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering
dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha
mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa
batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu
nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada
yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai
suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan
ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme
(pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha
tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan
suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua
makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan
sendirinya swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan
manusia .
Bagi
mereka yang menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan
meninggal juga sebagai orang hindu, buddha adalah salah satu awatara.
Awatara berarti ititsan atau perwujudan tuhan yang maha esa dalam
memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana menyebutkan ada 10 awatara,
dan buddha adalah awatara yang kesembilan.
Thuben
chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha.
Cara yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan
sebagai manusia yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk
jalan, yang sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua
adalah dengan memahami buddha sebagai manifstasi keluhuran yang
trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai
fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan salah satu aspek
dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang
beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai
buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua
memiliki potensi untuk menjadi buddha.
Hakikat
kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal,
meliputi segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas
personifikasi, esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan
sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut
juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan
dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil
bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan
diterima oleh segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk
menyelamatkan dunia.
Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya.
Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan
dalam perwujudan surgai yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan
boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh
ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para boddhsatwa.
Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia.
Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha
historis adalah wujud nirmanakaya.
Dalam
agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya.
Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha
dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi
buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga
paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha
timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk
sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya.
Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis,
berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan
yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang
bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep
adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha,
svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra,
tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di
indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari
sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu
sendok.
Walau
umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda.
Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974
tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah RI
no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan
dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha,
kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”.
- Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan
terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda
adalah pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara
tepat . tingkat pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada
setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk
bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan
bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda,
apalagi antar sekte.
Keyakinan
bahwa tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita
mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua
rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya.
Karena tuhan yang maha esa itu juga maha tinggi, maha luhur, maha suci,
maha sempurna, manusia yang percaya dan memujanya akan selalu mencinati
segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam
diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang
bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih (metta), welas asih
(karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Keyakinan
terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang
mnguasai dan mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang
melaksanakan kebenaran membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak
menentang hukum alam. Menyadari kehadirannya yang tidak dibatasi ruang
dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengannya dalam
kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
Beriman
itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu
berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga
melatih dan tidak melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii
keyakinan harus dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui
orang-orang yang bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan
dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah hati,
bekerja tanpa suka mencela, suka berdana, suka menolong, dan berbagi
dengan orang lain.
Berdasarkan
uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama
Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada
umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui
bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan
melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta masih banyak
lainnya.
Pendekatan
kedua, tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah,
tuhan cemburu, tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah
sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam
agama buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha
menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat
dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana atau tuhan dalam agama
buddha adalah yang tidak terlahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak
bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta masih
banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana adalah
mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini
sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan
segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia.
Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun
bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian.
Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami
kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau
durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang
jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh
durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat
bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan
kepada penuh pengertian.
B. Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak
orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan
sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih
dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata
yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian,
sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang
diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan
sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah
para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga,
namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa
karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan
ketika seseorang sedang berdoa.
Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha
maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat
buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah
meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan
kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun
doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti.
Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat
dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah
berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk
ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud
yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan
menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena
sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu
di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu
dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu
menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak
dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena
bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari
tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya
apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak
masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa
seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu
bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk
berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah
memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di
tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau
bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta
yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan pengulangan
kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi
uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma,
semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang
buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam
tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah
satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca
karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini
berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk
di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring,
berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta
tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih
kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari
sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa
jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian
baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan.
Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka
batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa
dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang
yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir
dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk
lingkungannya.
Itulah
makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan
melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa,
juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar
apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin
banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah
yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia
miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk
mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan
untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga
pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang
telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang
diharapkan.
Doa
yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan.
Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika
menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa
meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat
gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah.
Kepada anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang
mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam
surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk
mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap
pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu.
Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang
terbaik.
Sehari-hari
dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang
lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut.
Jika doa diartikan meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak
terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang
buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana
tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan
pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma).
Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha selalu melindungi,
buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas.
Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7).
Semoga aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti
deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya
jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah
menunjukan untuk bisa memberi.
Parrita
adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan
dengan doa. Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada
siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan
atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parrita yang
dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula pernyataan
kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh
buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi
kesukaran melahirkan.
Selanjutnya
adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang
dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra
panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar).
Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau
dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang
terdiri dari beberapa suku kata.
Konsep
mantra berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai
sumber suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang
memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar
suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut
atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran seorang
melalui integrasi psiofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa
konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan
Berdoa
(bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu
upacara, berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan
sajian. Untuk melakukan upacara persembahan karena buddha dan
boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan
dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan
keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan
potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis
egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri
untuk memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira
berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima
persembahan tanpa membawanya pergi.
Setiap
sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin
melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan.
Air selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang
harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama
baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga
mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai
kebebasan.
5.Ajaran Hindhu Dharma tentang Manusia dan Alam
A.
Penciptaan
Manusia
Dari segi arti katanya, manusia berasal dari kata manushya, artinya
"Makhluk yang memiliki pikiran." Manusia memiliki kesempurnaan
peralatan untuk mengatur dirinya menemui penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia
menurut ajaran agama Hindu terdiri dari tubuh dan jiwa atau roh. Tubuh
merupakan wujud yang kelihatan dan yang bersifat fana. Ada saatnya nanti tubuh
ini mengalami kebinasaan. Sedangkan jiwa atau roh itu bersifat kekal. Hal ini
dapat dilihat dari petikan kitab Bhagawad Gitta II.16 dan Bhagawad Gitta II. 20
di bawah ini:
"Apa yang tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah
ada; apa yang ada tak akan pernah berhenti ada; keduanya hanya dapat dimengerti
oleh orang yang melihat kebenaran. Yang tak pernah lahir dan mati; juga setelah
ada tak akan berhenti ada, tidak dilahirkan, kekal, abadi, selamanya, tidak
mati dikala tubuh jasmani mati."
Dalam zaman Brahmana diuraikan bahwa manusia terdiri dari dua
bagian, yaitu bagian yang tampak dan tak nampak. Bagian yang tampak disebut
rupa, yang tersusun dari lima unsur, yaitu: rambut, kulit, daging, tulang, dan
sum-sum. Bagian yang tidak nampak disebut nama, terdiri dari unsur-unsur yang
menentukan hidup. yaitu: nafas (prana atau atman), akal (budhi), pemikiran
(manas), penglihatan (caksu), dan pendengaran (strotra). Manusia memiliki lima
alat pengindraan (Buddhendriya), yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman,
perasa dan peraba. Juga memiliki lima alat bertindak (karmendriya), yaitu:
tangan, alat melahirkan (upastha), alat mengeluarkan (payu), kaki, lidah.
Manusia tediri dari lima skandha (skandha artinya tonggak). Kelima
skandha tersebut ialah rupa, wedana, sanna, sankhara, dan winnana. Rupa adalah
kerangka anatomis atau alat badani kita, yaitu baik yang menyenangkan maupun
yang tidak menyenangkan. Sanna ialah pengamatan dari segala macam, baik yang
rohani maupun yang jasmani, yang dengan perantara indra masuk ke dalam
kesadaran. Sankhara adalah suatu skandha yang sangat kompleks, yang di dalamnya
mengandung kehendak, keinginan dan sebagainya yang menjadikan skandha ini dapat
menyusun gambar atau khayalan dari apa yang diamati. Winnana adalah kesadaran.
Yang disebut jiwa sebenarnya adalah kelima skandha ini bersama-sama atau satu
persatu.
Dalam diri manusia terdapat atman. Atman tersebut diselubungi oleh
beberapa selubung, yaitu dari luar ke dalam: Selubung yang terdiri dari makanan
atau tubuh sebagai selubung jasmani (Annamaya atman); Selubung yang di bawah
selubung jasmani, yaitu selubung yang di tempati nafas hidup atau prana, yaitu
selubung nafas ni (Pranamaya atman); Selubung yang lebih mendalam lagi, yaitu
selubung akali (Manomaya atman); lalu terdapat selubung yang terdiri dari
kesadaran (Wijnanamaya atman); dan bagian terdalam terdapat atman dalam keadaan
bahagia (Anandamaya atman) yaitu inti sari manusia.
B.
Penciptaan
Alam
Dalam agama Hindu, ajaran mengenai alam semesta tidak begitu jelas.
Pengajaran mengenai alam semesta tercakup dalam Kitab Agama atau kitab-kitab
tantra. Pokok pengajaran mengenai kitab-kitab ini membicarakan mengenai
penciptaan alam semesta, penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan
persekutuan dengan zat yang tertinggi. Dunia ini keluar dari Brahman, melalui
persekutuan antara purusa (jiwa atau inti pribadi perseorangan, yang tidak
berubah dan tidak aktif) dan prakrti (bukan jiwa yang badani atau asas yang
bersifat kebendaan, tetapi yang dalam keadaan yang semula mewujudkan suatu
kesatuan yang tanpa pembedaan). Prakrti mengandung didalamnya triguna atau tiga
tabiat, yaitu: sattwa (tabiat terang), rajas (tabiat penggerat), dan tamas
(tabiat yang gelap, masa bodoh, malas, dsb). Karena hubungan praktri dengan
purusa, nisbah (rasio) antara ketiga tabiat tadi berubah-ubah, yang menyebabkan
berkembangnya dunia yang beraneka ragam ini.
Penciptaan hanya suatu ragam saja dari penjelmaan ilahi. Dunia yang
mengalir dari Brahman itu terdiri dari mahabrahmanda atau makrosmos dan
bratbrahmanda atau mikrosmos. Mengenai penciptaan ini terdapat berbagai
pandangan. Dalam kitab Bhagawad Gitta III.10 dijelaskan mengenai hal ini,
sekalipun masih samar-samar:
"Dahulu kala Hyang Widhi menciptakan manusia dengan jalan
yadhnya dan bersabda dengan ini engkau akan berkembang dan mendapatkan
kebahagiaan atau khamaduk sesuai dengan keinginanmu."
(Sumber: Tony Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu,
(Pionir Jaya, Bandung: 2011)
C.
Hubungan
Manusia dan Alam
Hindu dalam hal ini Veda amat kaya akan konsep yang diulas secara
sistimatis dan diakui bersama. Salah satunya adalah konsep Rta dan Yajna dimana
ini merupakan perlambang adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan
alam dan berbagai ciptaan yang lain dimana semua memiliki arti penting yang
sama dalam menjaga ekosistim, yang ketiganya saling membutuhkan satu sama lain,
dan saling memberi dan menerima. Ini berbeda dengan kepercayaan lain yang
menempatkan manusia sebagai superior dalam ciptaan atau penikmat dari segala
yang diciptakan dimana konsep ini memiliki sisi lemah dimana manusia dapat
menjadi arogan dan menempatkan alam dan ciptaan yang lain hanya sebagai sapi
perahan, manusia hanya mengambil keuntungan dari alam dan ciptaan yang lain
tanpa memperhatikan keberlangsungan dari alam tersebut, ini lah terjadi pada
saat ini. Kini alam perlahan sudah tidak ramah lagi pada manusia, bencana demi bencana
kini hadir, lalu apakah ini cobaan dari Tuhan? Menurut saya ini adalah dampak
dari mulai tidak akrabnya manusia dengan alam, manusia berkembang dengan tidak
memperdulikan alam.
Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan
timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan
“ Yadnya”.
Rta
Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap
dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.
Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang
terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam
dan unsureunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara
manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk
menjaga hubungan timbal balik ini.
Ø AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
a)
Penciptaan
Manusia
Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan,
melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya
terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran
mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya
akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai
adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan
akibat.
Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses
tumimba lahir adalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini
berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang,
tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang
terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah
yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya
akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk
mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang
akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta,
yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang
ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk
yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada,
melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu
fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita,
bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti,
bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur
yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Dharma-dharma itu terbagi atas lima golongan yang disebut dengan
skanda: Rupa, yaitu badan, yang badani, benda (materi); Vedana berupa
perasaan-perasaan; Samnya, berupa angan-angan bayangan -atau tanggapan;
Samskara, berupa tenaga penggerak, kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan
karma; Vinaya, yaitu mengenani kejelasan atau kesadaran.
Kehidupan manusia ini diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata
rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan batin), Sankhara (bentuk-bentuk
karma), Patisando Vinarna (kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani)
Salayatana (enam landasan India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra
(nafsu keinginan); Upadana (melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati
(kelahiran); Jasa Marana (tua dan mati).
b)
Penciptaan
Alam
Terbentuknya alam semesta menurut ajaran Buddha berawal dari
cahaya. Namun karena ketamakan diri manusia, membuat alam semesta dan bumi ini
terbentuk seperti sekarang ini. Hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui proses yang panjang dan menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam
prosesnya, alam semesta hanya terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan
waktu. Ada tiga susunan alam semesta, yaitu:
i.
Alam
hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan
unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh makhluk-makhluk
berbadan kasar (jasmani).
ii.
Alam
bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh dewa-dewa yang masih memiliki badan
yang lebih halus, tetapi tidak memiliki hawa nafsu.
iii.
Alam
yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam ini didiami oleh dewa-dewa yang
tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini setelah pengheningan cipta (nibana).
Kisah kejadian alam semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam
Dighya Nikaya, Agganna Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta
diterangkan bahwa sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia
yang lama mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama
sekali, maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula
makhluk-makhluk yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara
spontan sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup
dari ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan
melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya
dikenal sebagai makhluk saja.
Sebagian makhluk memiliki tubuh yang indah, sebagian makhluk
lainnya memiliki tubuh yang buruk. Oleh karena hal ini, mereka memandang rendah
makhluk yang bertubuh buruk, sehingga sari tanah yang mereka makan lenyap.
Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan menjalar, kemudian timbul sejenis padi purba,
namun karena keserakahan dan kemalasan mereka (menuai padi untuk disimpan
lama), sehingga batang padi yang dipotong tidak tumbuh lagi dalam waktu yang lama
(masa menunggu).
Berdasarkan apa yang mereka makan, bentuk tubuh mereka semakin
padat, dan perbedaan tubuh mereka semakin Nampak jelas. Wanita lebih jelas
kewanitaannya (itthilinga) dan laki-laki lebih jelas kelaki-lakiannya
(purisalinga). Mulai sejak itu, laki-laki memperhatikan wanita dan wanita
memperhatikan laki-laki. Sehingga muncullah nafsu birahi (indriya) yang
membara. Sebagai akibat munculnya nafsu ini, mereka melakukan hubungan seks
yang kemudian menghasilkan keturunan.
(Sumber: Tony Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu,
Pionir Jaya, Bandung: 2011)
c)
Hubungan
Manusia dan Alam
Pandangan
ajaran Buddha terhadap alam (alam semesta)
Menurut sang Buddha, bahwa sifat segala sesuatu adalah terus
berubah (anicca). Begitu pula dengan sifat alam. Alam bersifat dinamis dan
kinetik, selalu berproses dengan seimbang. Unsur-unsur alam yang tampak dalam
pandangan Buddha ada empat, yakni unsur padat (pathavi), cair (apo), panas
(tejo), gerak (vayo).
Hukum yang berlaku pada alam(alam semesta) dapat dikategorikan
dalam lima aturan yang disebut panca niyamadhamma, yaitu utuniyama (hukum
fisika), bijaniyama (hukum biologi), cittaniyama (hukum psikologis),
kammaniyama (hukum moral), dhammaniyama (hukum kausalitas).
Pandangan
ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan.
Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima
kelompok kehidupan yang disebut lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud
yang tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna(pencerapan,mengingat),
sankhara (keadaan-keadaan pikiran), vinnana (kesadaran). Lima khandha ini
secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupadan nama).
Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat
tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta), tidak memuaskan atau menderita (dukkhata),
dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata). Jadi makhluk
hidup—manusia dan hewan— sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat
anicca, dukkha, dan anatta.
6. Ajaran Budha Dharma tentang manusia dan alam
A.
Penciptaan
Manusia
Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan,
melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya
terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran
mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya
akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai
adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan
akibat.
Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahiradalah sebab musabab
yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi
penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan
yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang
mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan
mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya
(perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk
mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang
akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak
adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi
kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang
mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur
keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal.
Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti,
bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur
yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Pemikiran
tentang adanya manusia itu unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya
roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan
kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat
diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik
ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat
lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu
dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat
berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin
tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini
hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam
perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan
menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang,
bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.
Agama
Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian
empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di
dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu
adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani
dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin
dan jasmani.
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran
Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya
Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
a) Dukkha sebagai derita
biasa (dukkha-dukkha)
b) Dukkha sebagai akibat
dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
c) Dukkha sebagai keadaan
yang saling bergantung (sankharadukkha)
Untuk
menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang
disebut dukkhasamudaya, yang
ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang
mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa
nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti
nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk
menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan
konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam,
Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus
disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui
cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancurananavas, yaitu sifat-sifat
induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada
hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana
merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup
maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami
delapan jalan mulia atau Hasta
Arya Marga.
B.
Penciptaan
Alam
Hakikat
kenyataan penciptaan alam adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi
keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang
bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung
suatu substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi
pikiran mengenai asal muasal dunia.
a) Tradisi pikiran
pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu
kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru
berubah.
b) Tradisi pikiran kedua
berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan maha kuasa yang bertanggung
jawab akan segala sesuatu.
c) Tradisi pikiran ketiga
berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal
itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga
ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama
sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan.
Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena
miskinnya pikiran kita.”
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum
Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan
karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling
bergantungan”.
Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta,
baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun
yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat
rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
a) Dengan adanya ini,
maka terjadilah itu.
b) Dengan timbulnya ini,
maka timbullah itu.
c) Dengan tidak adanya
ini, maka tidak adalah itu
d) Dengan terhentinya
ini, maka terhentilah itu.
Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam
semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah
menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam
diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir
dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam
menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam
semesta sebelumnya.
Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta
ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan material
dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada
pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.
Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolong-golongkan atas
shankharaloka, sattaloka, okasaloka. Shankharaloka adalah
alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu,
logam, emas. Sattaloka adalah
alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah
hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam
sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kamaloka, yaitu alam
kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca
indranya.
Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Apaya-Bumi, meliputi:
1) Alam neraka
2) Alam binatang
3) Alam syetan
4) Alam raksasa asuro.
b. Kamasugatu-Bhumi,
meliputi:
1) Alam para Dewata yang
menikmati ciptaan-ciptaan lain,
2) Alam dewata yang
menikmati ciptaannya sendiri,
3) Alam dewata yang
menikmati kesenangan,
4) Alam dewata
Yama,
5) Alam 33 dewata
6) Alam tempat Maharaja
Jadi
Brahma tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam
Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di
dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa wujud, alam Brahma
berujud dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka dan Bumi loka yaitu
alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia. Brahmaloka maupun Kamaloka
ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam tersebut masih ada penderitaan,
umur tua dan mati.
Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma.
Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam
yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.) Pathama Jhana Bhumi,
yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama :
a. Brahma Parisajja: alam
pengikut Brahma
b. Brahma Purohita: alam
para mentrinya Brahma
c. Maha Brahma: alam
Brahma yang besar.
b.) Dutiya Jhana Bhumi,
yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua :
a. Brahma Parittabha:
alam para Brahma yang kurang bercahaya
b. Brahma Appamanabha:
alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
c. Brahma Abbhassana:
alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.) Tatiya Jhana Bhumi,
yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga :
a. Brahma Parittasubha:
alam para Brahma yang kurang auranya,
b. Brahma Appamanasubha: alam
para Brahma yang tidak terbatas auranya.
c. Brahma
Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.) Catutha Jhana Bhumi,
yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat :
a. Brahma Vehapphala:
alam para Brahma yang besar pahalanya,
b. Brahma Asannasatta:
ialah alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
c. Brahma Aviha: alam
kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
d. Brahma Atappa: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
e. Brahma Suddassa: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
f. Brahma Sudassi: alam
keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
g. Brahma Akanittha: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.
Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak
berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
a.
Akasanancayatana: keadaan konsepsi ruangan
yang tanpa batas,
b.
Vinnanancayatana: keadaan konsepsi kesadaran
yang tanpa batas,
c.
Akincannayatana: keadaan konspsi kekosongan,
d.
Nevasannanasannayatana: keadaan konsepsi bukan
pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
Okasaloka adalah alam tempat.
Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah
okasaloka tempat manusia hidup dan tempat makhluk lain.
Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama
Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan Tuhan, dan Tuhan tidak
mengaturnya. Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan
Tuhan atau alam mutlak dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat
menimbulkan problem metafisika yang tidak habisnya. Segala sesuatu di alam ini
dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di
mana-mana (hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur
tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang
dapat digolongkan menjadi lima:
a.
Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai
peristiwa-peristiwa energy.
b.
Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai
peristiwa-peristiwa biologis.
c.
Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur
bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
d.
Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai
peristiwa-peristiwa batiniah.
e.
Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur
hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam
semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh kekuatan di luar
hukum yang berlaku.
C.
Hubungan Manusia
dengan Alam
Pandangan ajaran Buddha terhadap
makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk
hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak
termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok
kehidupan yang disebut lima khandha,
yang terdiri dari rupa (wujud
yang tampak/badan jasmani), vedana
(perasaan), sanna (pencerapan,mengingat),
sankhara (keadaan-keadaan
pikiran), vinnana (kesadaran).
Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupa dan nama).
Sang
Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat
tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta), tidak
memuaskan atau menderita (dukkhata),
dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata).
Jadi makhluk hidup-manusia dan hewan, sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai
sifat anicca, dukkha, dan anatta.
Kesalingterkaitan makhluk hidup dan
lingkungan (alam)
Sebagai
awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan
dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan
manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan,
sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-hewan-alam.
Sejak
awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal
peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api.
Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal
api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban
selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan
hidup.
Interaksi
manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah
memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok
tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap.Selain itu manusia membutuhkan
makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan
tempat manusia hidup.
Hewan
dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber
makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan
untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran
atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Terlihat
dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan
hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya, saat ini interaksi tersebut malah
merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah, pencemaran
air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia
hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia
alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari
jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi
kepuasan materi.Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap
hewan.Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka
dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun
tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran
lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit,
polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara
menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi
pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia
sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan
hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
Dari
uraian di atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam (lingkungan) saling
mempengaruhi. Ketika salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan
dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan
mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.
Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam
menurut ajaran Buddha
Setelah
mengetahui sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut
kacamata
Buddhis, sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang
saling timbal-balik.
Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu
berubah
atau berproses. Susunan wujud (rupa)
manusia juga sama dengan alam menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas
unsur
padat, cair, panas dan gerak. Satu hal yang membedakan makhluk
hidup(manusia
dan hewan) dengan alam adalah manusia dan hewan tersusun selain oleh
wujud (rupa) juga oleh batin (nama), sedangkan alam terbentuk hanya
dari rupa.
Ajaran
Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah
saling mempengaruhi dan berinteraksi.Semua yang terjadi berdasar hukum
sebab-akibat yang saling mempengaruhi.Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat
yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab
yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan
mengakibatkan akibat yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia,
hewan, atau alam.
Sang
Buddha menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia
untuk menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasila buddhis aturan pertama sang Buddha mengajarkan manusia
untuk menghindari melukai/menyakiti makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan
demikian dikarenakan beliau tahu perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga
keseimbangan ekosistem. Beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai
tumbuh-tumbuhan.
Jadi ajaran Buddha memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi
dan berinteraksi.
7. Ajaran Hindhu Dharma tentang Etika(Susila)
A. Pengertian
Susila
Susila
berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah awalan yang berarti amat baik,
atau sangat baik, mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku
atau kelakuan.
Jadi
Susila berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus
menjadi pedoman hidup manusia. Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk
sosial. Sebagai individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong
ia berbuat baik dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang selaras dengan
ajaran agama atau dharma adalah cermin dari manusia yang Susila. Manusia Susila
adalah manusia yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima oleh
lingkungan di mana orang itu berada.
Demi
tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini manusia yang ber-Susila atau
bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Manusia yang susila adalah
penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan oleh
orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu
menyertainya. Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau
saja di dunia ini tidak ada orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan
hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat
untuk menjaga Dharma.
Pengertian
Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik
yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta
(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih
sayang.
Pada
hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang
benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain
adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Memahami
Beberapa Ajaran Agama Hindu yang Berhubungan dengan Susila, Ada banyak
pelajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan pemahaman susila di antaranya:
1. Filsafat
Tat Twam Asi
Tat
Twam Asi berasal dari kata “Tat” yang berarti “Itu”, “Twam” berarti “Kamu”, dan
“Asi” berarti “adalah”. Jadi Tat Twam Asi dapat diartikan menjadi “Itu adalah
Kamu”. Kata “Itu” dapat pula diartikan sebagai “Dia” sehingga Tat Twam Asi
dapat bermakna “Dia adalah Kamu”. Secara bebas dapat pula diterjemahkan menjadi
“Kamu adalah Dia” jadi kamu adalah dia itu adalah sama saja. Ini berarti bahwa
semua manusia pada hakekatnya adalah sama. Jika dilihat dari segi Atman atau
jiwanya, maka Tat Twam Asi dapat diartikan sebagai “jiwa orang itu adalah jiwa
kamu”. Jadi Atman orang ini dan Atman orang itu adalah sama. Atman itu memang
sama karena bersumber dari percikan sinar suci Tuhan Yang Satu. Semua manusia
sebenarnya memang bersaudara.
Dalam
filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang
tanpa batas, yang identik dengan prikemanusiaan dan Pancasila. Konsepsi sila
prikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh
merupakan realisasi ajaran Tat Twanm Asi yang terdapat dalam kitab seci Weda.
Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memahami serta
mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran Weda.
Karena maksud yang terkandung di dalam ajaran Tat Twain Asi ini “ia adalah
kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama”, sehingga bila kita
menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri.
Tat
Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran Agama Hindu Wujud nyata/rill
dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari
umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam
kebutuhan hidup yang dimotivasi oleh keingina: (kama) manusia yang
bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup banyak jenis, sifat, dan
ragamnya, seperti sebutan manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius,
ekonomis, dan budaya. Semua itu harus dapat di penuhi oleh manusia secara
menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisi serta
keterbatasan yang dimilikinya. Betapa pun susah yang dirasakan oleh individu
yang bersangkutan. Di sinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa
kebersamaan, sehingga seberapa berar masalah yang dihadapinya akan terasa ringan.
Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat
merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Kita tahu bahwa berat
dan ringan. (Rwabhineda) itu ada dan selalu berdampingan serta sulit dipisahkan
keberadaannya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu
saling tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan.
2. Pengertian
Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
Cubhakarma
berasal dari bahasa sanskerta yang berarti perbuatan baik. Cubhakarma terbagi
menjadi 12 yaitu:
1) Tri
Kaya Parisuda
Tri
Kaya Parisuda berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti tingkah laku dan
parisuda mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah
laku yang mulia (baik).
Adapun
tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah:
Ø Manacika
(berpikir yang baik dan suci). Seseorang dapat dikatakan manacika apabila ia:
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak
halal.
2. Tidak berpikir buruk terhadap sesama
manusia atau mahluk lainnya.
3. Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
Ø Wacika
(berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan sebagai wacika,
apabila ia:
1. Tidak mencaci maki orang lain.
2. Tidak berkata-kata yang kasar kepada
orang lain.
3. Tidak memfitnah atau mengadu domba
4. Tidak ingkar janji.
Ø Kayika
(berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat dikatakan kayika, manakala ia:
1. Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
2. Tidak berbuat curang, mencuri atau
merampok.
3. Tidak berzina
2) Catur
Paramita
Catur
Paramita adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan
Upeksa. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian budi luhur yang
berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk. Karuna adalah belas kasian atau
kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang menghendaki
terhapusnya pendertiaan segala makhluk. Mudita artinya sifat dan sikap
menyenangkan orang lain. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai orang
lain. Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa masunisa kearah
kemuliaan.
3) Panca
Yama Bratha
Panca
Yama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan
perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin. Panca Yama
Bratha ini terdiri dari lima bagian yaitu Ahimsa artinya tidak menyiksa dan
membunuh makhluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari artinya tidak
melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu, dan berarti juga pengendalian
terhadap nafsu seks, Satya artinya benar, setia, jujur yang menyebabkan
senangnya orang lain. Awyawahara atau Awyawaharita artinya melakukan usaha yang
selalu bersumber kedamaian dan ketulusan, dan Asteya atau Astenya artinya tidak
mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain.
4) Panca
Nyama Bratha
Panca
Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk
mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca
Nyama Bratha ini adalah Akrodha artinya tidak marah, Guru Susrusa artinya
hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat-nasehat guru,
Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum, dan Apramada artinya taat
tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan ajaran-ajaran suci.
5) Sad
Paramita
Sad
Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini
meliputi: Dana Paramita artinya memberi dana atau sedekah baik berupa materiil
maupun spirituil; Sila Paramita artinya berfikir, berkata, berbuat yang baik,
suci dan luhur; Ksanti Paramita artinya pikiran tenang, tahan terhadap
penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki atau perbuatan
tak benar dan kata-kata yang tidak baik; Wirya Paramita artinya pikiran,
kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak mengeluh
terhadap apa yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini adalah
keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk membela dan
melaksanakan kebenaran; Dhyana Paramita artinya niat mempersatukan pikiran
untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti pemusatan
pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan; Pradnya Paramita artinyaa kebijaksanaan dalam
menimbang-nimbang suatu kebenaran.
6) Catur
Aiswarya
Catur
Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan
batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan
Aiswawarya. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu didasari atas kebenaran;
Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir batin yang berguna demi
kehidupan seluruh umat manusia. Wairagya artinya tidak ingin terhadap kemegahan
duniawi, misalnya tidak berharap-harap menjadi pemimpin, jadi hartawan, gila
hormat dan sebagainya; Aiswarya artinya kebahagiaan dan kesejahteraan yang
didapatkan dengan cara (jalan) yang baik atau halal sesuai dengan hukum atau
ketentuan agama serta hukum yang berlaku di dalam masyarakat dan negara
7) Asta
Siddhi
Asta
Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia
untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi
meliputi: Dana artinya senang melakukan amal dan derma; Adnyana artinya rajin
memperdalam ajaran kerohanian (ketuhanan); Sabda artinya dapat mendengar wahyu
karena intuisinya yang telah mekar; Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan
dan ketntraman dalam semadhi; Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala
macam gangguan pikiran yang tidak baik; Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi
segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti
kesurupan, ayan, gila, dan sebagainya. Adi Boktika artinya dapat mengatasi
kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti; dan
Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai
kelepasan.
8) Nawa
Sanga
Nawa
Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha artinya setia terhadap keluarga dan rumah
tangga; Andrayuga artinya mahir dalam ilmu dan dharma; Guna bhiksama artinya
jujur terhadap harta majikan; Widagahaprasana artinya mempunyai batin yang
tenang dan sabar; Wirotasadarana artinya berani bertindak berdasarkan hukum;
Kratarajhita artinya mahir dalam ilmu pemerintahan; Tiagaprassana artinya tidak
pernah menolak perintah; Curalaksana artinya bertindak cepat, tepat dan
tangkas; dan Curapratyayana artinya perwira dalam perang.
9) Dasa
Yama Bratha
Dasa
Yama Bratha adalah sepuluh macam
pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa artinya tidak mementingkan
diri sendiri; Ksama artinya suka mengampuni dan
dan tahan uji dalam kehidupan;
Satya artinya setia kepada ucapan sehingga menyenangkan setiap orang;
Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti makhluk lain; Dama artinya menasehati
diri sendiri; Arjawa artinya jujur dan mempertahankan kebenaran; Priti artinya
cinta kasih sayang terhadap sesama mahluk; Prasada artinya berfikir dan berhati
suci dan tanpa pamerih; Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan
santun; dan Mardhawa artinya rendah hati; tidak sombong dan berfikir halus.
10) Dasa
Nyama Bratha
Dasa
Nyama Bratha terdiri dari: Dhana artinya suka berderma, beramal saleh tanpa
pamerih; Ijya artinya pemujaan dan sujud kehadapan Hyang Widhi dan leluhur;
Tapa artinya melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang buruk agar dapat
mencapai ketenangan batin; Dhyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap
Hyang Widhi; Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu birahi (seksual);
Swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci khususnya, juga
pengetahuan umum; Bratha artinya taat akan sumpah atau janji; Upawasa artinya
berpuasa atau berpantang trhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang
oleh agama; Mona artinya membatasi perkataan; dan Sanana artinya tekun melakukan
penyician diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan sembahyang.
11) Dasa
Dharma
Yang
disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca artinya murni rohani dan
jasmani; Indriyanigraha artinya mengekang indriya atau nafsu; Hrih artinya tahu
dengan rasa malu; Widya artinya bersifat bijaksana; Satya artinya jujur dan
setia terhadap kebenaran; Akrodha artinya sabar atau mengekang kemarahan; Drti
artinya murni dalam bathin; Ksama artinya suka mengampuni; Dama artinya kuat
mengendalikan pikiran; dan Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.
12) Dasa
Paramartha
Dasa
Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun
dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi
(Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa artinya pengendalian diri lahir
dan bathin; Bratha artinya mengekang hawa nafsu; Samadhi artinya konsentrasi
pikiran kepada Tuhan; Santa artinya selalu senang dan jujur; Sanmata artinya
tetap bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan; Karuna artinya kasih sayang
terhadap sesama makhluk hidup; Karuni artinya belas kasihan terhadap
tumbuh-tumbuhan, barang dan sebagainya; Upeksa artinya dapat membedakan benar
dan salah, baik dan buruk; Mudhita artinya selalu berusaha untuk dapat
menyenangkan hati oranglain; dan Maitri artinya suka mencari persahabatan atas
dasar saling hormat menghormati.
3. Pengertian
Acubhakarma (perbuatan tidak baik) beserta jenis-jenisnya
Acubhakarma
adlah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma
(perbuatan baik). Acubhakarma (perbuatan tidak baik) ini, merupakan sumber dari
kedursilaan, yaitu segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan
susila atau dharma dan selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. Semua jenis
perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus
dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini
menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu,
bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah:
I.
Tri Mala
Tri
Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah
perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan
kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
II.
Catur Pataka
Catur
Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi
sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha
(menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora
(mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan
Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri
dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh
anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari
Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk),
Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha
(membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara
perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat
suci).
III.
Panca Bahya Tusti
Adalah
lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu
Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk
dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala
macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan
kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari
kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan
menyakiti hati makhluk lain.
IV.
Panca Wiparyaya
Adalah
lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga
akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu
mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu
mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha
artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang
tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin
mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan
sesuatu yang telah hilang.
V.
Sad Ripu
Sad
Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri,
yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan
serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan
kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat
dengki dan irihati.
VI.
Sad Atatayi
Adalah
enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain;
Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam;
Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa
kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.
VII.
Sapta Timira
Sapta
Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu: Surupa artinya gelap atau mabuk karena
ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap
atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan;
Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau
mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.
VIII.
Dasa Mala
Artinya
adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri
adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah
orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan
sombong; Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat
mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut
dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah
orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka
menyiksa dan menyakiti sesama makhluk; dan Kimburu adalah orang pendengki dan
iri hati.
8. Ajaran Budha Dharma tentang Etika(susila)
A. Pengertian dan macam-macam Sila
Etika
dalam bahasa yunani
yaitu Ethos. Ajaran Buddha tentang sila
adalah etika Buddhis, kebajikan, atau perbuatan baik. Buddhagosa dalam
kitab Visuddhimaga menafsirkan sila berbagai
berikut : pertama, sila menujukan sikap batin atau kehendak (cetana).
kedua, menunjukan
penghindaran (virata) yang merupakan
unsur batin (cetasika). ketiga, menunjukan pengendalian diri (samvara)
dan keempat menunjukan tiada pelanggaran peraturan yang telah
ditetapkan. Menurut bahasa kosa kata pali sila dalam artian etika dan
dalam
penegrtian sempit yaitu moral. Macam0macam sila ada dua yaitu Kusalakama
dan
Akusalakama yang artinya kusalakama yaitu perbuatan baik dan akusalakama
iyalah
perbuatan buruk.
B. Catur Paranitha dan Catur Mara
Catur Paramitha ialah sifat –sifat Ketuhanan sifat-sifat ini adalah
sumber dari kusala-kama yakni perbuatan baik makadari itu umat buddha harus
menerapkan sifat-sifat ini yang terdiri dari :
Metta yaitu cinta kasih universal yang menjadi akar perbuatan baik
dengan diterapkannya sifat ini maka dosa akan tertekan
Karuna yaitu kasih sayang universal karena melihat sesuatu
kesesangsaraan. Bila mana ini diterapkan maka lobha akan tertekan
Mudhita yaitu perasaan simpati universal karena melihat seseorang
bahagia atau gembira bila ini berkembang issa akan lenyap
Upekkha yaitu keseimbangan bathin universal sebagai hasil
melaksankan metta dan karuna . Bila ini berkembang maka akan melenyapkan moha.
Catur Mara yakni sifat setan yang menjadi sumber perbuatan buruk
atau bisa dikatakan akusala-kama, makadari itu umat buddha harus membuang
jauh-jauh atau menghindari dari perbuatan ini agar 5tidak terus-terusan
mengalami kesengsaraan yang terdiri dari :
Dosa yaitu kebencian yang akar dari perbuatan buruk dan akan lenyap
bila diterapkan metta
Lobha yaitu serakah yang akar dari perbuatan buruk yang apabila
diterapkan karuna akan lenyap
Issa yaitu perasaan tidak senang melihat orang lain bahagia atau
bisa dikatakan iri hati bila diterpakan muddhita maka issa akan lenyap
Moha yaitu kegelisaan bathin akibat dosa, lobha dan issa. Moha
artinya kebodohan atau kurangnya pengertian, moha juga disebut ketidaktahuan
atau tidak berpengetahuan. Dan apabila diterapkan Upekkha maka moha akan
lenyap.
C. Sila dan Catur Paramitha
Sila adalah etika
sila juga berarti menerapkan suatu perbuatan baik agar hidup menjadi damai dan
tentram oleh karena itu sila dan catur paramitha atau disebut perbuatan baik
yang terdiri dari sifat ketuhanan sangatlah berkaitan untuk menghasilkan hidup
yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Jika dalam kehidupan menerapkan
sila dengan perbuatan baik maka akan bisa melenyapkan suatu kesengsaraan.
9. Ajaran Hindu tentang Catur Marga
1.
Catur Marga ialah empat jalan atau cara mengamalkan agama
Hindu (Veda) dalam kehidupan dan dalam bermasyarakat. Oleh karena keadaan dan
kemampuan lahir-batin umat Hindu tidak semua sama maka Veda mengajarkan Catur
Marga (empat jalan) agar semua umat dapat beragama sesuai kemampuannya.
Bagian-bagian Catur Marga antara lain :
- Bhakti Marga : Mengamalkan agama dengan
melaksanakan bhakti/sembahyang, cinta kasih terhadap sesama ciptaan Tuhan,
baik sesama manusia maupun dengan makhluk lain yang lebih rendah dari
manusia yang disertai sarana bhakti. Jadi apabila orang telah
bersembahyang dan hidup kasih sayang terhadap sesama makhluk itu berarti
telah mengamalkan ajaran Veda melalui jalan bhakti
- Karma Marga : Mengamalkan agama dengan
berbuat Dharma atau kebajikan seperti mendirkan tempat suci (pura) dan
merawatnya, menolong orang yang kesusahan, melaksanakan kewajiban sebagai
anggota keluarga/ anggota masyarakat dan berbagai kegiatan sosial
(subhakarma) lainnya yang dilandasi dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab.
Itulah pengalaman agama dengan kerja (karma).
- Jnana Marga : Mengamalkan agama dengan
jalan mempelajari, memahami, menghayati, menyebarkan agama dan ilmu
pengetahuan-ketrampilan (IPTEK) dalam kehidupan sehari-hari. Jadi
berdiskusi, memberi ceramah atau menyebarkan ajaran agama, mengajarkan
ketrampilan positif berarti sudah mengamalkan agama melalui Jnana Marga.
- Raja Marga : Mengamalkan agama dengan melakukan
Yoga, bersemadi, tapa atau melakukan Brata (pengendalian diri) dalam
segala hal termasuk upawasa (puasa) dan pengendalian seluruh indria.
Keempat jalan (marga) itu
dapat dilakukan diberbagai tempat dan waktu sesuai kemampuan seseorang dan
keempatnya tidak dapat dipisahkan karena dalam prakteknya saling berkaitan.
Misalnya sembahyang , keempat cara (marga) itu dapat diamalkan sekaligus yaitu
:
- rasa hormat atau berserah merupakan wujud
bhakti marga.
- Menyiapkan sarana kebhaktian merupakan wujud
karma marga.
- Pemahaman tentang sembahyang merupakan wujud
jnana marga.
- Duduk tegak-tenang-konsentrasi merupakan wjud
raja marga.
Jika direnungkan dan
diperhatikan maka sesungguhnya pengamalan agama Hindu sangat mudah, praktis dan
lues. Keluesan itu disebabkan karena agama Hindu dapat dilaksanakan :
- Dengan mempraktekan Catur Marga
- Oleh seluruh umat tanpa terkecuali
- Disegala tempat, waktu dan keadaan
- Tidak harus dengan materi
- Sesuai dengan kemampuan umat
- Sesuai dengan adat istiadat karena Hindu
menjiwai adat istiadat.
Demikian agama Hindu dapat
diamalkan selama 24 jam setiap hari dengan cara serta bentuk pengamalan
yang beraneka ragam. Untuk itu umat Hindu tidak patut memaksakan bentuk
pengamalan agama agar seragam dari segi materi maupun bentuk material lainnya,
apalagi keseragaman jumlah uang. Namun yang harus sama dan seragam ialah
prinsip dasar ajaran agama.
Ada 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan
(Hyang Widhi) yaitu :
- Bhakti
Marga
- Karma
Marga
- Jnana
Marga.
- Yoga
Marga
Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti
digunakan untuk menunjukkan cinta kasih kepada subyek yang lebih tinggi
statusnya, atau lebih luas lingkupnya misalnya : orang tua, negara, bangsa,
Tuhan (Hyang Widhi). Kata cinta kasih digunakan untuk sesama misalnya tunangan,
istri/suami, umat sedharma, umat manusia. Orang yang ber-bhakti kepada Hyang
Widhi disebut Bhakta.
Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu PARA
BHAKTI dan APARA BHAKTI. Para artinya
utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama,
sedangkan apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara
berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh
bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau
sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakabhakta yang tingkat inteligensi dan
kesadaran rohaninya tinggi.
10. Ajaran Hindu tentang Panca Yadnya
Pengertian Umum Yadnya
Pada awalnya banyak orang mengartikan bahwa
yadnya semata upacara ritual keagamaan.Pemahaman ini tentu tidak salah karena
upacara ritual keagamaan adalah bagian dari yadnya.Namun patut disadari bahwa
upacara hanyalah salah satu bentuk Yajna yang paling nampak dengan nyata atau
rill.. Pengertian secara
umum yadnya disamakan dengan ritual,sedangkan dalam bahasa sehari-hari, yadnys
dimaksudkan sebagai upacara keagamaan. Dalam arti sempit di samakan dengan
samskara atau sangaskara yang artinya, dengan melihat mensucikan,
membiasakan,menjadikannya sempurna, memberi bentuk,melengkapi, memperindah,
membentuk, dan membudayakan.
Pengertian yanja juga dapat kita lihat dari dua
segi yaitu pengertian secara etimologi dan pengertian secara terminology.Secara
etemologi kata yajna adalah kata dalam bahasa Sanskrta yang berasal dari urat
kata kerja “yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, berkorban.Urat kata
kerja “yaj” tersebut kemudian dapat berubah menjadi kata Yajna, Yajus,
Yajanadan Yajamana.Yajna berarti pemujaan, persembahan atau korban suci.Yajus
berarti aturan tentang yajna.Yajana atau Yajna karma berarti pelaksanaan yajna,
sedangkan Yajamana berarti orang yang melakukan Yajna. Secara terminologi kata
Yajna memiliki pengertian sebagai berikut :
1. Yajna ngaraning manghanaken homa.
Artinya :
Yajna artinya mengadakan homa.
2. Yajna ngaranya “Agnihotradi”
kapujan sang hyang Siwagni pinakadinya
Artinya :
Yajna artinya “Agnihotra” yang
utama, yaitu pemujaan atau persembahan kepada Sang Hyang Siwa Agni.
Yang dimaksud dengan homa dalam
Wraspati Tattwa mempunyai makna yang sama dengan “Agnihotra” dalam Agastya
parwa yaitu pemujaan atau persembahan kepada Ageni antaralain berupa minyak
dari biji-bijian(kranatila), madu, kayu cendana(sri wrksa), mentega, susu dan
sebagainya seperti digambarkan dalam Kakawin Ramayana I.24-27. Jadi pada
prinsipnya pengertian yajna itu pada mulanya berpusat pada pemujaan atau
persembahan kepada Agni berupa minyak, susu dan sebagainya. Persembahan (Yajna)
tersebut menimbulkan hujan.
Dari hujan lahirlah makanan.Dari makanan
lahirlah mahluk hidup.Sedangkan yajna itu sendiri lahir dari karma
(Bhagawadgita III.14), karena Yajna lahir dari karma maka yajana termasuk karma
kanda atau karma sanyasa atau prawrti yaitu jalan perbuatan.
Sejalan dengan perkembangan pola piker manusia
yang semakin luas, maka pengertian Yajna pun menjadi luas dan dalam. Tidak saja
menyangkut pemujaan dan persembahan kepada Agni saja namun juga kepada aspek
yang lain. Agni berkedudukan sebagai prantara yang menghubungkan antara manusia
dengan Tuhan atau Dewa-dewa Melaluai Dewa Agni persembahan atau Yajna itu
disampakan kepada yang dituju.Jadi secara singkat dapatlah kiranya dikatakan
bahwa yang dimaksuddengan Yajna iyu adalah segala bentuk pemujaan atau
persembahan dan pengorbanan yang tulus ikhlas yang timbul dari hati yang suci
demi maksud-maksudmulia dan luhur.
Ada beberapa unsur yang mutlak yang terkandung
dalam yajna. Unsur-unsur tersebut yaitu :
• Karya (adnya
perbuatan)
• Sreya (ketulus
ikhlasan)
• Bhakti
(persembahan)
Jadi semua perbuatan yang
berdasarkan dharma dan dilakukan dengan tulus ikhlas dapat disebut yajna. Dalm
Bhagawadgita ditegaskan bahwa belajar dan mengajar didasari oleh
keikhlasan serta penuh pegabdian untuk memua Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah
tergolong yajna. Memelihara alam lingkungan juga disebut yajna. Mengendalikan
hawa nafsu dan panca indria adalah yajna. Demikian pula membaca kitab suci
Veda, sastra Agama yang dilakukan dengan tekun dan ikhlas adalah yajna. Saling
memelihara, mengasihi sesama mahluk hidup juga disebut yajna. Menolong orang
sakit, mengentaskan kemiskinan, menghibur orang yang sedang ditimpa kesusahan
adalah yajna. Jadi jelaslah yajna itu bukanlah terbatas pada kegiatan upacara
keagamaan saja. Upacara dan upakaranya (sesajen dan alat-alat upakara)
merupakan bagian dari yadjnya.
1. TUJUAN YADNYA
Dalam banyak sloka dari berbagai
kitab menyatakan bahwa alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia;
diciptakan , dipelihara dan dikembangkan melalui yadnya. Oleh karena itu maka
yadnya yang dilakukan oleh manusia tentu bertujuan untuk mencapai tujuan hidup
manusia menurut konsep Hindu yakni Moksartham jagat hita ( Kebahagiaan sekala
dan niskala ).
Dalam rangka mencapai tujuan
tertinggi tersebut manusia harus melakukan aktivitas dan berkarma. Paling tidak
empat hal yang harus dilakukan manusia yaitu, penyucian diri, peningkatan
kualitas diri, sembahyang, dan senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada
Sang Pencipta.
Empat hal di atas semuanya dapat
dicapai melalui Yadnya. Oleh karena itu tujuan Yadnya adalah :
a. Untuk Penyucian
Untuk mencapai kebahagiaan maka
hidup ini harus suci.Tanpa kesucian sangat mustahil keharmonisan dan
kebahagiaan itu dapat tercapai. Pribadi dan jiwa manusia dalam aktivitasnya
setiap hari berinteraksi dengan sesama manusia dan alam lingkungan akan saling
berpengaruh. Guna ( sifat satwam, rajas, dan tamas ) orang akan saling
mempengaruhi, demikian juga “guna” alam akan mempengaruhi manusia. Untuk
mencapai kebahagiaan maka manusia harus memiliki imbangan Guna Satwam yang
tinggi.Pribadi dan jiwa manusia harus dibersihkan dari guna rajas dan guna
tamas.Melalui Yadnya kita dapat menyucikan diri dan juga menyucikan lingkungan
alam sekitar. Jika manusia dan alam memiliki tingkatan guna satwam yang lebih
banyak maka keharmonisan alam akan terjadi.Kitab Manawa Dharmasastra V.109
menyatakan :
“ Adbhirgatrani suddhayanti mana satyena
suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhayanti”
Artinya :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan
dengan kebenaran, jiwa manusia dibersihkandengan pelajaran suci dan tapa brata,
kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar.
Oleh karena itu jadikanlah aktivitas sehari-hari
kita sebagai yadnya.Laksanakan kewajiban diri sendiri dengan penuh kesadaran
dan keihlasan sehingga masuk dalam kelompok yadnya.Dengan demikian maka setiap
kegiatan yang kita lakukan selalu memberikan kesucian pada diri pribadi.
Demikian juga untuk kesucian alam
dan lingkungan lakukan upacara/ ritual sesuai dengan sastra agama sehingga kita
akan senantiasa berada pada lingkungan yang suci. Lingkungan yang suci akan
memberikan kehidupan yang suci juga bagi manusia.
b. Untuk meningkatkan kualitas diri
Setiap kelahiran manusia selalu
disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk
meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman
dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai.
Hanya dilahirkan sebagai manusia memiliki sabda,
bayu , dan idep dapat melakukan perbuatan baik sebagai cara untuk meningkatkan
kualitas jiwatman, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Sarasamuscaya sloka 2
sebagai berikut :
Ri sakwehning sarwa bhùta, iking
janma wwang juga wénang gumawayakén ikang çubhà çubhakarma, kunéng panéntasakéna
ring çubhakarma juga ikangaçubhakarma, phalaning dadi wwang.
Artinya :
Diantara semua mahluk hidup ,
hanya yang dilahirkan sebagai manusia saja yang dapat melaksanakan perbuatan
baik atau perbuatan buruk, oleh karena itu leburlah ke dalam perbuatan baik ,
segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya menjadi manusia.
Dari sloka di atas jelas kewajiban hidup manusia
adalah untuk selalu meningkatkan kualitas diri melalui perbuatan baik.Perbuatan
baik yang paling utama adalah melalui Yadnya.Dengan demikian setiap yadnya yang
kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.
c. Sebagai sarana menghubungkan diri dengan
Tuhan
Alam semesta dengan segala isinya
termasuk manusia adalah ciptaan Hyang Widhi. Oleh karena itu hidup manusia
dalam rangka mencapai tujuannya tidak akan lepas dari tuntunan dan kekuasaan
Tuhan. Untuk menjaga agar senantiasa jalan kehidupan kita pada arah yang benar
dan selalu mendapat sinar suci serta tuntunan Hyang Widhi maka haruslah kita
selalu menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sebagaimana dalam ajaran
Tri Hita Karana.Cara paling sederhana menghubungkan diri dengan Tuhan adalah
sembahyang.Sembahyang artinya menyembah Hyang Widhi. Jika dalam kehidupan kita
senantiasa dapat memusatkan pikiran, memuja Hyang widhi maka tujuan tertinggi
pasti akan tercapai sebagaimana sabda Tuhan.
dalam Bhagawad Gita Bab IX sloka
34 :
Pusatkan pikiranmu pada-Ku,
berbaktilah pada-Ku, dan tunduklah pada-Ku, dan dengan mendisiplinkan dirimu
serta menjadikan-Ku sebagai tujuan, engkau akan sampai kepada-Ku.
Untuk senantiasa dapat memusatkan pikiran dan memuja Hyang Widhi
tidaklah mudah.Perlu kedisiplinan dan keihlasan dalam menjalaninya.
Satu-satunya cara agar kita selalu dapat menghubungkan diri dengan Maha
Pencipta adalah dengan mempelajari, memahami dan melaksanakan Yadnya. Yadnya
dalam kegiatan karma keseharian adalah sarana untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan.Terlebih Yadnya dalam bentuk Upacara/ritual jelas merupakan wujud nyata
usaha menghubungkan manusia dengan Sang Penciptanya.dc
d. Sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Manusia memiliki rasa dan pikiran
dan dalam tatanan kehidupan sosial terikat pada aturan susila dan moral.Dengan
olah rasa yang baik maka rasa syukur merupakan salah satu motivasi utama untuk
selalu berbuat kebajikan. Kita diberikan hidup sebagai manusia, dilahirkan pada
keluarga yang satwam, berada pada lingkungan sosial yang baik , dan diciptakan
bersama bumi yang penuh keindahan dan kedamaian, adalah suatu yang luar biasa.
Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia bijak untuk tidak bersyukur dan
tidak berterima kasih kepada Sang Pencipta.
Ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada
Hyang Widhi itulah dilakukan dengan Yadnya
Bekerja dengan benar dan giat,
menolong orang yang kesusahan, belajar giat, dan kegiatan lain yang didasari
pengabdian dan rasa ikhlas adalah salah satu contoh ungkapan rasa syukur dan
ucapan terima kasih atas anugrah Tuhan untuk kesehatan, keselamatan diri,
rejeki, serta kehidupan yang kita terima.
Upacara/ritual yang dilakukan Umat Hindu baik
yang bersifat rutin (contohnya ngejot, maturan sehari-hari dsb ), maupun
berkala ( rahinan, odalan, serta hari suci lainnya ) salah satu tujuan utamanya
sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Hyang Widhi atas semua
anugrah Beliau.
e. Untuk menciptakan kehidupan yang harmonis
Hyang Widhi menciptakan alam
dengan segala isinya untuk memutar kehidupan.Sekecil apapun ciptaan-Nya
memiliki fungsi tersendiri dalam kehidupan ini. Dewa, Asura, manusia, binatang,
tumbuhan, bulan, bintang, bahkan bakteri dan kumanpun semuanya memiliki tugas
dan fungsi tersendiri dalam memutar kehidupan ini. Alam dengan segala isinya
memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu manusia
sebagai bagian alam semesta mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas dan
fungsinya untuk ikut menciptakan keharmonisan kehidupan. Dalam Bhagawad Gita ,
III.16 dijelaskan : PÃ rtha
Di dunia ini, mereka yang tidak
ikut memutar roda kehidupan ini, pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan
nafsu semata dan mengalami penderitaan, wahai
Agar perputaran roda kehidupan ini
berjalan dengan harmonsi maka peranan manusia sangat penting.Jika manusia dalam
melakoni hidup penuh keserakahan dan mengabaikan prinsip-prinsip Dharma maka
kehancuran pasti terjadi.
Hanya dengan Yadnya keharmonisan
alam dapat tercipta.Yadnya menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia
dengan Hyang Widhi, manusia dengan sesamanya dan keharmonisan hubungan manusia
dengan alam.
11. Ajaran Budha tentang Bhavana/Meditasi
1. PENGERTIAN BHAVANA
Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam
melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya
hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan
pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada
obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu
dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah
(miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat
menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk
karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang
dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.
2. FAEDAH BHAVANA
Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang
bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam
kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :
-
Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk
membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau
pelemasan.
-
Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk
menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang
bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
-
Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak
putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan
dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut.
-
Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong
dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat
dibutuhkannya itu.
-
Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan,
meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan
atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan
selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.
-
Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu
dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan
dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.
-
Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena
kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini,
meditasi akan menolong dia utnuk memberikan pengertian padanya bahwa
pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya.
-
Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama,
meditasi akan menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan
untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan
agama.
-
Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia
untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih
seksama dan lebih efisien.
-
Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat
melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara
menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan
kebahagiaan orang lain.
-
Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa
puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap
orang lain yang lebih mampu daripadanya.
-
Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan
dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya,
meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh
salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya.
-
Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan
ini, meditasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam
mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia
kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan
ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya.
-
Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.
-
Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu.
-
Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan
menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.
-
Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan,
meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara
mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan
mengikat dirinya.
-
Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan
memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan
pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri
sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya.
-
Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang
benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk
memperbodohi dirinya lagi.
-
Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada
kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan
dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret
lagi ke dalam persoalan-persoalan yang remeh.
-
Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu
dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk
mencapai Nibbana.
Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi.
Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.
3. CARA MELAKSANAKAN BHAVANA
Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok
untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan
tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari
gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di
tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah
maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di
kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di
tempat yang ramai.
Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang
baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul
07.00 dan malam hari antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu
untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu tersebut hendaknya
digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap
hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila
meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap
waktu.
Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang
baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki
kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di
pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi setengah sila, dengan kaki
dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan
duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus tegak,
tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar.
Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya
diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu.
Namun bila badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk
menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus
dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran.
Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai
posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau
nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai
meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam bermeditasi.
Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih
dahulu. Selanjutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran
dipusatkan pada obyek yang telah dipilih. Pada tingkat permulaan,
tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, karena pikiran itu
lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang
bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu
lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat
mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan
diperoleh.
Pembagian Bhavana
Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
- Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin.
- Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.
Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup:
- Tujuannya Samatha Bhavana merupakan pengembangan
batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana,
batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi
pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran
kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.Dengan
melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat
dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat
diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di
tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai
tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai
berbagai kekuatan batin.Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan
terakhir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan
yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana
Bhavana.Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan
untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana,
kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai
keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat
melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini
dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta
(tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju
ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian
Nibbana.Sesungguhnya “dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan
pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak
dengan jalan lain”.
- Obyeknya Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana
ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha,
sepuluh anussati, empat appamañña, satu aharapatikulasañña, satu
catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai
dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau
empat satipatthana.
- Penghalangnya Dalam melaksanakan Samatha Bhavana,
pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau
halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha.
Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan
yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut
sepuluh vipassanupakilesa.
Samatha Bhavana
1. EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI
Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi
ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau
pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat
perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang
guru.
Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
- Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
- Pathavi kasina = wujud tanah
- Apo kasina = wujud air
- Teja kasina = wujud api
- Vayo kasina = wujud udara atau angin
- Nila kasina = wujud warna biru
- Pita kasina = wujud warna kuning
- Lohita kasina = wujud warna merah
- Odata kasina = wujud warna putih
- Aloka kasina = wujud cahaya
- Akasa kasina = wujud ruangan terbatas
- Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
- Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
- Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
- Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
- Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
- Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
- Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
- Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
- Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
- Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
- Atthika = wujud tengkorak
- Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
- Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
- Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
- Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
- Silanussati = perenungan terhadap sila
- Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
- Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
- Marananussati = perenungan terhadap kematian
- Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
- Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
- Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana
- Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
- Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
- Karuna = belas kasihan
- Mudita = perasaan simpati
- Upekkha = keseimbangan batin
- Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
- Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
- Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
- Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
- Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
- Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
- Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan
Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :
- Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)
Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau
segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah
telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai
api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam
kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau
badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan
dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah,
atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau
bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan
lain-lain. Dalam kasina ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong
yang mempunyai batas-batas disekelilingnya seperti drum dan
lain-lain.Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya
pada bulatan yang berwarna biru misalnya. Selanjutnya, dengan memandang
terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar pikirannya tetap
berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di
sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut
kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja.
Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan
biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti
bulatan dari rembulan.
- Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran)
Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh
yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak,
membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung
gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi
oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya,
ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, “Badanku ini juga
mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari”.
Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya
obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai
mayat yang membengkak dan lain-lain.
- Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)
Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat
Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna,
sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke
Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya,
guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.Dalam
Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu
adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk
oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat
diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.Dalam
Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat
Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak
lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima
persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima bingkisan,
patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada
taranya di alam semesta.Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah
dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji oleh
para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.Dalam caganussati,
direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan
musnahnya kekikiran.Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk
agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari
perbuatan baik yang telah dilakukannya.Dalam marananussati, orang harus
merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian akan datang menyongsongku
dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada
ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini;
bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui
apa orang akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku
setelah kematian.
Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari
telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi
kulit dan penuh kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut
kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum,
ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran
usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air
mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.
Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.
Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang
terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran
tumimbal lahir.
- Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas)
Empat appamañña ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman
yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai
dari dirinya sendiri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta
kasih sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah
itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tua, guru-guru, teman-teman
laki-laki dan wanita sekaligus.Akhirnya, yang tersulit adalah
memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini mungkin
timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan
untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik
dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada
padanya. Perlu diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan
cinta kasih.Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada
orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan,
dan penderitaan.Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan
simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia
melihat kebahagiaan orang lain.Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap
tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi.
- Satu aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang
yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa
apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan
berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).
- Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :
- Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu
yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan,
kuku, gigi, dan lain-lain.
- Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang
bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya :
empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
- Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang
bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau
bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.
- Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang
bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus,
angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain.
- Empat arupa (empat perenungan tanpa materi)
Dalam kasinugaghatimakasapaññati, batin yang telah memperoleh gambaran
kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil
membayangkan, “Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!” dan kemudian
gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan
yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas.Dalam
akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan
kesadarannya sambil merenungkan, “Tak terbataslah kesadaran itu”. Ia
harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar,
mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.Dalam natthibhavapaññati,
orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan
tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tanpa batas
itu. Ia terus menerus merenungkan, “Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah
adanya ini”.Dalam akincaññayatana-citta, orang merenungkan keadaan
kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia
mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan,
yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai
batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka
kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada
pencerapan lagi
2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA
Lima macam nivarana
Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat
perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:
- Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
- Byapada (kemauan jahat)
- Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
- Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran)
- Vicikiccha (keragu-raguan)
Untuk menaklukkan kelima rintangan tersebut, orang harus mengetahui
sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha menghindari sebab-sebab itu
serta melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan nivarana itu.
Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan timbul apabila orang
berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa disertai
kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya
orang senantiasa melaksanakan meditasi dengan memakai obyek yang kotor
atau menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa
merangsang, berusaha untuk menguasai pikiran dan mengendalikan
indriya-indriyanya, senantiasa berbicara tentang kesempurnaan hidup,
tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan, bebas dari
nafsu-nafsu.
Kemauan jahat (byapada) akan timbul apabila orang berulang-ulang
memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian, tanpa disertai
kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat hendaknya orang
senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat bahwa
setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri.
Kemalasan dan kelelahan (thina-middha) akan timbul apabila orang
berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas, kelelahan,
mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan
diri dari kemalasan dan kelelahan, orang hendaknya senantiasa
merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa
melihat penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan
ajaran-ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila
orang berulang-ulang memperhatikan ketidak-tenteraman pikiran, tanpa
disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran,
orang hendaknya senantiasa mempelajari dan memahami kitab suci
Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan sempurna.
Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul apabila orang berulang-ulang
memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan, tanpa
disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan, orang
hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan
Sangha.
Sepuluh macam palibodha
Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah
dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada
sepuluh macam, yaitu :
- Avasa (tempat tinggal)
- Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
- Labha (keuntungan)
- Gana (murid dan teman)
- Kamma (pekerjaan)
- Addhana (perjalanan)
- Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara)
- Abadha (penyakit)
- Gantha (pelajaran)
- Iddhi (kekuatan gaib)
Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi
sering juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir
akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir
akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya.
Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa
keuntungan baginya. Ia merasa khawatir akan murid-murid dan
teman-temannya. Ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai.
Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya. Ia
merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya.
Ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia merasa
khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan
bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan
kemerosotan kekuatan magisnya.
Palibodha ini harus dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik.
3. ENAM MACAM CARITA
Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku.
Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang
berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi
menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya:
- Orang yang keras nafsu lobanya atau Ragacarita
- Orang yang keras kebenciannya atau Dosacarita
- Orang yang bodoh (dungu) atau Mohacarita
- Orang yang tebal keyakinannya atau Saddhacarita
- Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhicarita
- Orang yang suka melamun atau Vitakkacarita
Orang yang mempunyai ragacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan
loba, cenderung ke arah keindahan dan kecantikan, kagum melihat suatu
kebajikan walaupun itu kecil sekali, mudah melupakan kesalahan orang
lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk
mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
Orang yang mempunyai dosacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan
kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka marah, suka jengkel, suka
iri hati, tak senang melihat kesalahan walaupun kecil, tak mau tahu
terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang
rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain. Untuk
mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamañña dan empat kasina
(nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).
Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan
kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka
ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain,
pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh
memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai mohacarita, maka
obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah
anapanasati.
Orang yang mempunyai saddhacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan
keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui
orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang
dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka obyek yang
baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati
(Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati,
dan devatanussati).
Orang yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita melaksanakan
sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap
Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia mendengarkan
omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka yang
mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil
dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati,
aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.
Orang yang mempunyai vitakkavcarita melaksanakan sesuatu berdasarkan
tergesa-gesa, cenderung ke arah kegugupan, kegagalan dalam usaha, suka
berteori, pikirannya sering berkeliaran, tidak suka bekerja untuk
kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita, maka
obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.
Penjelasan:
Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina,
akasa kasina, dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua
orang tanpa memperhatikan caritanya.
4. TIGA MACAM NIMITTA
Nimitta berarti suatu pertanda atau gambaran yang ada hubungannya
dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
- Parikamma-Nimitta (gambaran batin permulaan)
- Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai)
- Patibhaga-Nimitta (gambaran batin berlawanan)
Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam
meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dengan mata, kemudian
dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta merupakan gambaran
atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua obyek (empat
puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta.
Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam
meditasi dilihat dengan batin, hingga obyek itu melekat dalam pikiran.
Jadi, uggaha-nimitta merupakan gambaran obyek di dalam batin yang sama
dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah dipejamkan. Untuk
mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai dalam
melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang
tersebut terdahulu.
Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam
meditasi yang telah melekat pada pikiran, terpeta dengan nyata, tetap,
jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek tersebut dapat
dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi, patibhaga-nimitta
merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk
gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya. Untuk
mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu
kayagatasati, dan satu anapanasati.
5. TIGA MACAM BHAVANA
Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu :
- Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan)
- Upacara-Bhavana (perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi)
- Appana-Bhavana (perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat)
Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek.
Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan
parikamma-bhavana.
Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki
pemusatannya, dan mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini,
nivarana telah dapat diatasi. Namun konsentrasi pikiran masih belum
mantap. Hal ini dapat disamakan dengan anak kecil yang baru belajar
berdiri, namun masih belum mantap, sering jatuh, tetapi ia terus
berusaha. Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang harus diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati (Buddhanussati,
Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, devatanussati,
marananussati, upasamanussati), satu aharapatikulasanna, dan satu
catudhatuvavatthana.
Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka
waktu yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang
penuh dan mantap telah tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai
orang yang telah dewasa yang telah dapat berdiri dengan kuat, tak
jatuh-jatuh lagi. Di samping nivarana telah dapat diatasi, maka
faktor-faktor jhana juga mulai timbul berperanan (vitakka, vicara, piti,
sukha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat dipakai untuk mencapai
appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati,
satu anapanasati, empat appamañña, dan empat arupa.
6. PENGERTIAN JHANA
Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada
obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada
obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu
kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat).
Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca
indera. Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan
tekun. Dalam keadaan ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul
kesan-kesan penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan
badan jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin
masih tetap aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya.
Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk
sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin.
Sewaktu-waktu jhana dapat merosot, karena jhana tidak kekal.
7. FAKTOR-FAKTOR JHANA
Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang
memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana
tersebut ada lima macam, yaitu :
- Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
- Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat.
- Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan.
- Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga.
- Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat.
Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang
berkelanjutan. Kedua keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi
lonceng. Pada waktu lonceng dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang
bergema. Bunyi lonceng pada saat terkena pukulan merupakan vitakka,
sedangkan gema dari bunyi lonceng itu merupakan vicara. Demikian pula
ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat permulaan memegang obyek
disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah berhasil memegang
obyek dengan kuat disebut vicara.
Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun, kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan.
Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas
seperti berikut. Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan
merasa sangat haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia
akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan ini
merupakan piti, karena di sini kegiuran timbul akibat keterbatasan dari
tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia meminum air itu, maka perasaan
berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.
Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.
Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana,
yaitu dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada,
selama itu pula nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka
nivarana akan timbul lagi.
Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi
thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha
membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.
8. TINGKAT-TINGKAT JHANA
Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat
rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat
sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana.
Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ada lima, karena hal ini
disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah kesadaran yang
berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari manda-puggala (orang
yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari vitakka dan
vicara kedua-duanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya dapat
membuang ‘keadaan batin’ satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang
vitakka, dan tatiya-jhana membuang vicara. Tetapi, tikkha-puggala (orang
yang cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotoran dari vitakka dan
vicara sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka dan vicara
sekaligus. Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada
empat.
Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas :
- Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama.
Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
- Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua.
Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
- Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga.
Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan ekaggata.
- Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.
- Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.
- Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.
- Viññanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.
- Akincaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
- Nevasaññanasaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas :
- Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah
dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah
vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
- Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara
mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua.
Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata.
- Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap,
karena piti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor
jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata.
- Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai
lenyap, karena faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di
dalam jhana keempat ini hanya ada faktor ekaggata dan ditambah dengan
upekkha (keseimbangan batin).
- Akasanancayatana-Jhana.
- Viññanancayatana-Jhana.
- Akincaññayatana-Jhana.
- Nevasaññanasaññayatana-Jhana.
Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek
yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga
appamañña (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.
Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa.
Penjelasan :
Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua orang untuk mencapai lima rupa jhana.
9. LIMA MACAM VASI
Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana.
Jika seseorang telah mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana),
kemudian ia ingin mencapai jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia
harus mempunyai lima macam vasi.
Kelima macam vasi tersebut ialah :
- Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.
- Samapajjana-vasi, yaitu keahlian dalam memasuki jhana.
- Adhitthana-vasi, yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada dalam jhana.
- Vutthana-vasi, yaitu keahlian dalam ‘keluar’ dari jhana.
- Paccavekkhana-vasi, yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana.
10. ENAM MACAM ABHIÑÑA
Abhiñña berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin.
Abhiñña akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana,
dimana jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk
timbulnya abhiñña ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma
(perbuatan baik) dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi
yang dapat menimbulkan abhiñña ialah hanya sepuluh kasina.
Abhiñña itu ada enam macam dan dapat dibagi atas dua kelompok besar,
yaitu abhiñña yang duniawi atau lokiya dan abhiñña yang di atas duniawi
atau lokuttara.
Abhiñña yang duniawi (lokiya-abhiñña) terdiri atas lima macam, yaitu :
- Iddhividhañana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan
magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu :
- Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
- Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk, seperti
menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri menjadi tak tampak.
- Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran,
seperti menciptakan istana, taman, harimau, wanita cantik, dan
lain-lain.
- Ñanavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
- Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu :
- Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
- Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
- Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
- Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
- Kemampuan melawan api.
- Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan tangannya.
- Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.
- Dibbasotañana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat.
- Cetopariyañana atau paracittavijañana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.
- Dibbacakkhuñana atau cutupapatañana (mata dewa), ialah kemampuan
untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang
bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing.
- Pubbenivasanussatiñana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.
Abhiñña yang di atas duniawi (lokuttara-abhiñña) hanya ada satu
macam, yaitu asavakkhayañana, ialah kemampuan untuk memusnahkan
kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah
kesucian tertinggi atau arahat.
Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha bukanlah untuk mendapatkan
kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa. Sang Buddha tidak
membenarkan siswa-siswaNya melakukan sesuatu yang ajaib dan mujijat,
karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka di
mata orang lain. Lagipula kegaiban itu bukanlah merupakan hal yang
penting dalam mencari kebebasan (Nibbana).
Vipassana Bhavana
1. EMPAT MACAM SATIPATTHANA
Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa
(batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan).
Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus
menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu
dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta
(tanpa aku).
Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas :
rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan),
sañña-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk
pikiran), dan viññana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang
disebut pancakkhandha itu adalah makhluk.
Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas :
kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana
(perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap
pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk
pikiran).
Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa
itu sendiri. Kaya nupassana adalah rupa-khandha. Vedana-nupassana
adalah vedana-khandha. Citta-nupassana adalah Viññana-khandha.
Dhamma-nupassana adalah pancakkhandha.
Sesungguhnya, yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran yang kuat.
- Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi
dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar dan
masuknya napas). Dalam anapanasati ini, tidak ada tekanan atau paksaan
pada pernapasan. Panjang atau pendeknya pernapasan harus disadari,
tetapi tidak dibuat-buat atau sengaja diatur. Jadi, bernapas secara
biasa dan wajar.Walaupun menurut kebiasaan , kesadaran terhadap
pernapasan itu pada tingkat permulaan dianggap sebagai obyek untuk
meditasi ketenangan (Samatha Bhavana), yaitu untuk mengembangkan
jhana-jhana, ia juga sangat berguna untuk mengembangkan Pandangan Terang
(Vipassana Bhavana). Dalam pernapasan, yang dipakai sebagai suatu obyek
perhatian murni, naik turunnya gelombang kehidupan yang tidak kekal,
yang timbul tenggelam ini, dapat disadari dengan mudah.Cara meditasi
lain yang penting, praktis, dan berguna ialah sadar dan waspada terhadap
segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau
berbaring, sewaktu membungkukkan dan melencangkan badan, sewaktu melihat
ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, ketika
buang kotoran dan kencing, ketika berbicara atau berdiam diri.Di sini
tidak dijalankan penyiksaan badan jasmani dengan maksud untuk
mengendalikan badan. Tetapi dipergunakan jalan tengah yang sederhana,
dengan menyadari timbul dan tenggelamnya bentuk kehidupan setiap saat.
- Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
Di sini direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik
perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun perasaan yang acuh tak
acuh. Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul,
berlangsung, dan kemudian lenyap kembali.Perasaan harus dikendalikan
oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan
bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan
tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam
dunia ini.
- Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran).
Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran sedang
dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal itu harus
disadari.Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup pada saat ini.
Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang akan datang tidak
boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak tenaga yang terbuang
dengan percuma karena melamunkan keadaan-keadaan yang telah lalu dan
mengkhayalkan keadaan yang akan datang. Jadi, keadaan pikiran yang
sebenarnya harus diamat-amati, agar batin menjadi bebas dan tidak
terikat.
- Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).
Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, direnungkan
bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana), direnungkan
bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan
(pancakkhandha), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan
indriya dalam dan luar (dua belas ayatana), direnungkan bentuk-bentuk
pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan
direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari
Ariya Saccani).Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam
rintangan (nivarana) ialah bahwa apabila di dalam diri orang yang
bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemauan jahat, kemalasan dan
kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, atau keragu-raguan, maka hal
itu harus disadari. Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di
dalam dirinya, maka hal itu pun harus disadari. Ia tahu bagaimana
bentuk-bentuk pikiran itu datang dan timbul. Ia tahu bagaimana sekali
timbul, bentuk-bentuk pikiran itu ditaklukkan. Ia tahu bahwa sekali
ditaklukkan, bentuk-bentuk pikiran itu tidak akan timbul lagi
kemudian.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok
faktor kehidupan (pancakkhandha) ialah dengan menyadari bahwa inilah
bentuk jasmani, inilah perasaan, inilah pencerapan, inilah bentuk
pikiran, inilah kesadaran. Ia tahu bagaimana caranya timbul dan
bagaimana caranya lenyap.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari
enam landasan indriya dalam dan luar (dua bleas ayatana) ialah dengan
menyadari bahwa inilah mata dan obyek bentuk, inilah telinga dan obyek
suara, inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kecapan,
inilah badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran. Ia
tahu akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua itu.
Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia tahu
bagaimana caranya supaya belenggu yang telah dibuang itu tidak timbul
lagi kemudian.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor
Penerangan Agung (Satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri orang
yang bermeditasi timbul kesadaran (sati), penyelidikan Dhamma yang
mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (viriya), kegiuran (piti), ketenangan
(passadhi), pemusatan pikiran (samadhi), atau keseimbangan (upekkha),
maka hal itu harus disadari. Ia tahu bilamana keadaan-keadaan ini tidak
ada di dalam dirinya. Ia tahu bagaimana cara timbulnya, dan bagaimana
cara mengembangkannya dengan sempurna.Cara merenungkan bentuk-bentuk
pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) ialah
dengan menyadari berdasarkan kesunyataan bahwa inilah penderitaan,
inilah asal mula dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan,
inilah jalan menuju pemadaman dari penderitaan. Ia merenungkan
masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran.
Akhirnya, ia hidup bebas tanpa ikatan dalam dunia ini.
2. SEPULUH MACAM VIPASSANUPAKILESA
Vipassanupakilesa berarti kekotoran batin atau rintangan yang
menghambat perkembangan Pandangan Terang, di dalam melaksanakan
Vipassana Bhavana.
Vipassanupakilesa ini ada sepuluh macam, yaitu :
- Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuk dan
keadaannya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang
menyenangkan.
- Piti, ialah kegiuran, yang merupakan perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaannya, yaitu :
- Khudaka Piti, ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
- Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakkan badan.
- Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh, yang suasananya meriang di seluruh badan, seperti ombak laut memecah di pantai.
- Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang suasananya seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
- Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan, yang
suasananya seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang
menakjubkan.
- Passadi, ialah ketenangan batin, yang seolah-olah orang telah mencapai penerangan sejati.
- Sukha, ialah perasaan yang berbahagia, yang seolah-olah orang telah bebas dari penderitaan.
- Saddha, ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya.
- Paggaha, ialah usaha yang terlalu giat, yang lebih daripada semestinya.
- Upatthana, ialah ingatan yang tajam, yang sering timbul dan
mengganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang
sekarang ini.
- Ñana, ialah pengetahuan yang sering timbul dan mengganggu jalannya praktek meditasi.
- Upekkha, ialah keseimbangan batin, dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-proses yang timbul
- Nikanti, ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek.
Sepuluh macam vipassanupakilesa ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Ñana, yaitu ñana yang ketiga.
3. EMPAT MACAM VIPALLASA-DHAMMA
Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, atau kepalsuan, atau kekeliruan
yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai
suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa-Dhamma
ini ada empat macam dan dapat dibasmi dengan melaksanakan empat macam
Satipatthana.
Keempat macam Vipallasa-Dhamma itu ialah :
- Subha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan
pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik.
Subha-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan kaya-nupassana.
- Sukha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan
pandangan, yang menganggap sesuatu yang derita sebagai bahagia.
Sukha_Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.
- Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan
pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal.
Nicca-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.
- Atta-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan
pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku.
Atta-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.
4. ENAM BELAS MACAM ÑANA
Ñana berarti pengetahuan. Apabila orang tekun melaksanakan Vipassana
Bhavana, maka akan berkembanglah ñana di dalam dirinya. Ñana itu ada
enam belas macam, yaitu :
- Nama-Rupa Pariccheda Ñana, ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (batin) dan rupa (materi).
- Paccaya Pariggaha Ñana, ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.
- Sammasana Ñana, ialah pengetahuan yang menunjukkan nama dan rupa
sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu anicca (ketidak-kekalan),
dukkha (derita), anatta (tanpa aku).
- Udayabbaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai timbul dan lenyapnya nama dan rupa.
- Bhanga Ñana, ialah pengetahuan mengenai peleburan/pelenyapan nama dan rupa.
- Bhaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
- Adinava Ñana, ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
- Nibbida Ñana, ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
- Muncitukamyata Ñana, ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.
- Patisankha Ñana, ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan
yang menuju kebebasan, yang menimbulkan keputusan untuk berlatih terus
dengan bersemangat.
- Sankharupekkha Ñana, ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.
- Anuloma Ñana, ialah pengetahuan mengenai penyesuaian diri dengan
Ariya-Sacca (Empat Kesunyataan Mulia), sebagai persiapan untuk memasuki
magga (Jalan), mencapai phala (hasil) dari magga itu, dan mendekati
Nirvana, dengan melalui anicca, dukkha, dan anatta.
- Gotrabhu Ñana, ialah pengetahuan mengenai pemotongan atau pemutusan keadaan duniawi, dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.
- Magga Ñana, ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa atau kekotoran batin telah dilenyapkan.
- Phala Ñana, ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang
merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai
obyek batinnya.
- Paccavekkhana Ñana, ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa atau kekotoran batin yang masih ada.
Enam belas macam ñana tersebut di atas diuraikan agak terperinci seperti di bawah ini.
- Nama-Rupa Pariccheda Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat membedakan nama dari rupa dan
rupa dari nama. Umpamanya, dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, naik
dan turunnya rongga perut ketika bernapas adalah rupa, sedangkan pikiran
yang mengetahui proses itu adalah nama. Gerakan kaki ketika berjalan
adalah rupa, sedangkan kesadaran terhadapa hal itu adalah nama.Mengenai
membedakan nama dan rupa yang berkenaan dengan panca-indera, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
- Dalam melihat bentuk atau warna, bentuk atau warna itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
- Dalam mendengar bunyi, bunyi itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
- Dalam mencium bau, bau itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
- Dalam mencicipi sesuatu, rasa itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
- Dalam menyentuh suatu benda yang dingin, panas, keras, atau lunak,
benda itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
Jadi, kesimpulannya ialah bahwa seluruh badan ini adalah rupa, dan
pikiran adalah nama. Yang ada hanya rupa dan nama. Tak ada sesuatu yang
disebut makhluk, tak ada pribadi, aku, dia, dan lain-lainnya.
- Paccaya Pariggaha Ñana
Dalam beberapa hal, rupa merupakan sebab, dan nama merupakan akibat.
Jadi, kalau rongga perut naik, maka kesadaran akan mengikutinya. Namun,
dalam hal lain, nama merupakan sebab, dan rupa merupakan akibat. Jadi,
kalau pikiran bergerak, maka gerak jasmani akan mengikutinya. Keinginan
duduk merupakan sebab, dan duduk adalah akibatnya.Rongga perut mungkin
naik, tetapi tidak ada turun. Rongga perut mungkin turun dengan keras
dan tinggal diam dalam keadaan itu. Naik turunnya rongga perut hilang,
tetapi kalau dirasakan dengan tangan, proses itu masih tetap
ada.Sewaktu-waktu ada perasaan yang sangat tertekan dan kadang-kadang
agak kurang, atau merasa diri tidak berhasil. Sering diganggu oleh
pemandangan atau khayalan, seperti binatang liar, gunung-gunung, dan
lain-lain.Naik turunnya perut dan bekerjanya proses kesadaran itu
berlangsung dengan teratur. Kadang-kadang orang dapat terkejut,
bergoyang ke muka atau ke belakang. Akhirnya, orang dapat merasakan
bahwa kehidupan yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang hanya
terbentuk dari rangkaian sebab dan akibat, dan hanya terdiri atas nama
dan rupa.
- Sammasana Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat merasakan nama dan rupa
melalui panca-indera sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu, Anicca
(ketidak-kekalan), Dukkha (derita), dan Anatta (tanpa aku).Gerak
naiknya perut dan gerak turunnya perut ada tiga bagian, yaitu upada
(terjadi), thiti (berlangsung), dan bhanga (lenyap). Naik turunnya perut
dapat lenyap sebentar atau dalam waktu yang lama. Pernapasan dapat
berlangsung cepat, pelan, halus, atau tertahan.Timbul perasaan tertekan,
yang hanya dapat lenyap setelah disadari beberapa kali dengan
perlahan-lahan. Pikiran menjadi kacau, yang memperlihatkan adanya
kesadaran terhadap Tilakkhana itu.
- Udayabbaya Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat menyadari bahwa gerakan naik
turunnya perut itu terdiri atas dua, tiga, empat, lima, atau enam
tingkat.Naik dan turunnya perut lenyap berselang-seling. Berbagai
perasaan lenyap setelah disadari beberapa kali. Terlihat cahaya yang
terang, seperti lampu listrik.Permulaan dan pengakhiran dari gerakan
naik turunnya perut lebih terasa. Akhirnya, orang akan merasakan bahwa
ketika pernapasan berhenti pada waktu beristirahat yang berulang-ulang,
badan seperti jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, atau terbang
dengan pesawat terbang, atau naik dengan lift, tetapi sebenarnya badan
masih tetap diam dan tak bergerak.
- Bhanga Ñana
Pengakhiran dari gerak naik turunnya perut lebih terasa. Naik turunnya
perut terasa samar-samar, terasa lenyap, dan kadang-kadang terasa tidak
ada apa-apa.Gerakan naik turun dan kesadaran/pikiran (citta) terasa
seolah-olah lenyap. Pertama-tama, rupa (materi/jasmani) yang mengendap,
tetapi citta masih bergema. Kemudian, gerakan naik turun segera lenyap,
demikian pula kesadarannya. Jadi, citta dan obyeknya lenyap
bersama-sama.Terasa panas seluruh badan. Terasa diri seperti ditutupi
dengan jaring. Segala sesuatu kelihatannya seolah-olah dalam suasana
yang penuh kesuraman, sangat kabur, dan remang-remang. Kalau melihat
pada langit, seolah-olah ada getaran-getaran di udara. Gerakan naik dan
turun sekonyong-konyong berhenti dan sekonyong-konyong timbul lagi.
- Bhaya Ñana
Timbul perasaan takut, tetapi tidak seperti takut ketika melihat hantu
atau setan. Tidak merasa bahagia, senang, gembira, atau nikmat. Terasa
sakit pada urat-urat syaraf, terutama pada waktu berjalan atau
berdiri.Terdapat bahaya dari perubahan-perubahan yang terus menerus di
dalam semua bentuk kehidupan. Semua bagian dari benda-benda ini
menakutkan. Nama dan rupa yang dianggap sebagai sesuatu yang bagus atau
indah, sebenarnya tidak mempunyai inti-sari, dan kosong sama sekali.
Setelah nama dan rupa lenyap, tidak ada lagi yang menimbulkan rasa
takut.
- Adinava Ñana
Gerakan naik turun menghilang sedikit demi sedikit, dan kelihatannya
hanya samar-samar dan suram. Nama dan rupa muncul dengan cepatnya,
tetapi dapat juga disadari.Diri terasa buruk, jelek, dan membosankan.
Semua bentuk batin dan fisik menyedihkan.
- Nibbida Ñana
Semua obyek kelihatan membosankan dan jelek. Terasa seperti malas,
tetapi kemampuan untuk mengenal atau menyadari sesuatu masih berjalan
dengan baik. Tak ada keinginan untuk bertemu atau bercakap-cakap dengan
orang lain, dan lebih senang tinggal di kamar sendiri saja.Orang merasa
bahwa keinginan-keinginan atau cita-citanya yang dahulu, seperti
kemasyhuran, kemewahan, kemegahan, dan lain-lainnya tidak lagi merupakan
kesenangan dan kegembiraan, bahkan berubah menjadi kebosanan setelah
menyadari sendiri bahwa manusia itu tercengkeram dan terseret ke dalam
kelapukan. Semua manusia dan makhluk lain, bahkan para dewa dan para
brahma tidak ada yang terkecuali semasih diliputi oleh bentuk-bentuk
ini, di mana masih ada kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian, dan
tidak terdapat perasaan kenikmatan yang sejati. Kebosanan timbul sebagai
dorongan yang keras untuk mencari Nibbana.
- Muncitukamyata Ñana
Seluruh badan merasa gatal, seperti digigit-gigit semut, atau seperti
ada binatang kecil yang merayap pada muka dan badan. Terasa kurang
senang, gelisah dan bosan. Ada keinginan pergi dan menghentikan latihan
meditasinya. Ada pula yang ingin pulang karena merasa bahwa paramitanya
atau perbuatan-perbuatan baiknya belum cukup kuat.
- Patisankha Ñana
Terasa ditusuk-tusuk di bawah kulit dengan benda-benda tajam di seluruh
badan. Timbul bermacam-macam perasaan yang mengganggu, tetapi setelah
disadari dua atau tiga kali, semua itu menjadi lenyap. Terasa mengantuk.
Badan menjadi kaku, tetapi pikiran masih aktif dan pendengaran masih
bekerja. Badan terasa seperti ditindih batu atau kayu. Seluruh badan
terasa panas. Muncul perasaan tak senang.
- Sankharupekkha Ñana
Tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan senang, tetapi agak seperti
acuh tak acuh. Naik turunnya perut hanya disadari sebagai nama dan rupa
saja. Tidak ada perasaan gembira atau perasaan sedih, tetapi pikiran
dan kesadaran pada saat itu tetap terang.Ingatan, pengenalan, atau
kesadaran tidak mengalami kesukaran-kesukaran.Konsentrasi pikiran
berjalan baik, tetap tenang dan halus dalam jangka waktu yang lama,
seperti sebuah mobil yang berjalan di atas jalan yang datar dan rata.
Ada perasaan puas dan mungkin lupa dengan waktu. Samadhi atau
konsentrasi menjadi kuat dan lekat, seperti adonan tepung yang
diremas-remas oleh tukang roti yang pandai.Dapat dikatakan bahwa
penyadaran dan pengenalan di dalam nama ini berlangsung dengan mudah dan
memuaskan. Orang mungkin dapat lupa dengan waktu yang telah dilewatinya
dalam latihan itu. Mungkin ia telah duduk selama satu jam atau lebih,
padahal mulanya ia ingin bermeditasi hanya 30 menit saja.
- Anuloma Ñana
Di sini Anuloma Ñana diuraikan dalam bentuk Tilakkhana (anicca, dukkha, anatta) sebagai berikut :
- Anicca : orang yang biasa melatih diri dalam kebersihan atau
kesucian dan sila-sila akan mencapai magga melalui perenungan tentang
anicca. Gerakan naik turun perut menjadi cepat, tetapi sekonyong-konyong
berhenti. Ia menyadari atau mengetahui dengan terang tentang gerakan
naik turun itu yang berhenti, menyadari sikap duduk atau
sentuhan-sentuhan badannya dengan jelas. Keadaan pernapasan yang cepat
itu adalah corak anicca, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses
berhentinya pernapasan ini adalah anuloma-ñana, tetapi janganlah
hendaknya ragu-ragu atau dipikir-pikirkan. Proses berhenti ini harus
disadari dengan nyata.
- Dukkha : Orang yang biasa melatih diri dalam Samatha (meditasi
ketenangan) akan mencapai magga melalui perenungan tentang dukkha. Kalau
ia berlatih menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau
sentuhan-sentuhan pada badan, maka hal itu akan terhalang. Kalau ia
terus melanjutkan menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau
sentuhan-sentuhan pada badan, maka terjadilah proses berhenti. Keadaan
pernapasan yang terhalang itu adalah corak dari dukkha, dan pengenalan
atau kesadaran terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau
terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah
anuloma-ñana.
- Anatta : Orang yang biasa melatih diri dalam Vipassana (meditasi
pandangan terang), atau senang dengan Vipassana dalam kehidupannya yang
dulu-dulu, akan mencapai magga melalui perenungan tentang anatta. Jadi,
naik turunnya perut menjadi tenang dan teratur, jangka waktu dari
gerakan naik dan gerakan turun sama, dan kemudian berhenti. Gerak naik
turunnya perut, atau sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan
kelihatan dengan terang. Keadaan pernapasan yang halus dan teratur itu
adalah corak dari anatta, dan pengenalan atau kesadaran yang terang
terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap
duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.
- Gotrabhu Ñana
Nama-rupa bersama-sama dengan citta (pikiran) yang mengetahui proses
berhenti itu menjadi diam, tenang, aman, dan damai. Ini berarti bahwa
orang telah mendapat penerangan dengan nibbana sebagai obyeknya. Jadi,
kalau pencerapan mulai pecah dan lenyap, maka gotrabhu-ñana tercapai.
- Magga Ñana
Magga timbul langsung pada saat perasaann pecah dan pencerapan kilesa
hancur akibat dari putusnya belenggu-belenggu, seperti Sakayaditthi
(kekhayalan dari aku), Vicikiccha (keragu-raguan), Silabbataparamasa
(ketahyulan tentang upacara).
- Phala Ñana
Phala-ñana adalah hasil dari magga, yang muncul langsung setelah
timbulnya magga-ñana. Dalam beberapa saat, dua atau tiga saat, yang
menjadi obyek phala-citta adalah nibbana. Ñana ini bersifat lokuttara.
- Paccavekkhana Ñana
Paccavekkhana-Ñana terdiri atas pertimbangan-pertimbangan mengenai masih
adanya kilesa (kekotoran batin). Dalam hal ini terdapat lima macam
pertimbangan sebagai berikut :
- Pertimbangan mengenai magga, yang berarti bahwa kita telah tiba pada magga ini.
- Pertimbangan mengenai phala, yang berarti bahwa kita telah mencapai phala atau hasil ini.
- Pertimbangan mengenai kilesa yang telah dihancurkan, yang berarti kita telah menghancurkan semua kilesa.
- Pertimbangan mengenai kilesa yang belum dihancurkan, yang berarti kita masih memiliki kilesa.
- Pertimbangan mengenai nibbana, yang berarti bahwa Dhamma tertentu
telah kita capai untuk menuju ke Nibbana sebagai obyek pikiran.
Demikian proses tersebut dapat timbul di dalam diri seseorang dan dapat
disadari dengan seksama, jika orang melaksanakan Vipassana Bhavana.
12. Upaca kelahiran, perkawinan,dan kematian dalam agama Hindu
1. Makna Kelahiran dan Upacaranya
Manusa artinya
manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara
Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka
pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang
sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya
dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan
atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan
dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa
Yadnya seperti :
1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan
berusia 7 bulan .
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang
sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan
dengan mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu
menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air
dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan
kanannya memegang bamboo runcing.
4. Si Suami
sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si Istri
sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan
memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir
natab
2. Upacara kelahiran (Jatakarma
Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru
dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si
kecil di dunia.
Tata Cara :
1. Bayi yang
baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten,
sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si bayi
mendapatkan keselamatan.
2. Setelah
ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup.
Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua
bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa
itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas
ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas
kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau
kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya
kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu
ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat
dari dalam rumah.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan
terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari
bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal
antara lain :
• Adanya
keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap
leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa
kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus puser
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah
upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas.
Tata Cara :
1. Puser bayi
yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam "ketupat
kukur" (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan
rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian
kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan
kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat
menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi
empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.
4. Tidak ada
mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon keselamatan dengan cara
dan kebiasaan masing-masing.
4. Upacara
bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu
upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi
nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau
keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati
Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Sarana Upakara yang kecil : Peras,
Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara yang
biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini
hanya ditambah dengan penebusan.
Upacara yang
besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpen
tegeh dan diikuti wali joged atau wayang lemah.
Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada
saat si bayi sudah berumur genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di
dalam rumah pekarangan yaitu di sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah
kamulan. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang
paling dituakan.
Tata Cara :
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu
dan si anak. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan
berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti
pokok upacara yang ditujukan :
Kepada si ibu adalah:
banten byakaon dan prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan
pengelukatan.
Kepada si bayi adalah:
banten pasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit
pengelukatan, dan lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan
kemulan pada pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
· tumpeng merah untuk di dapur
· tumpeng hitam untuk di permandian dan
· tumpeng putih untuk di kemulan.
Inti pokok banten pengelukatan tersebut
antara lain: peras dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian,
penyeneng dan sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.
5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42
hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping
juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
Tata cara Untuk upacara kecil:
1. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan
maprayascita.
2. Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke
sanggah kamulan untuk natab.
Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :
1. Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan
terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan
maprayascita
3 Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di
sanggah kamulan
Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi
berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian
terhadap si bayi dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di
dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat
Suci Keluarga). Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari),
adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan
si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini
nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang,
kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang
bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan /
pemotongan rambut untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi
belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot
(jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang
pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan
rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket
upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) -
Niskramana Samskara
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur
105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil: panglepasan,
penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara
besar:
panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten
panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak
berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu
tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar
sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda.
Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara
bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini
dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Tata Cara :
1. Pandita / Pinandita memohon tirtha
panglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan,
memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai
perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda
tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Doa dan
persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita
/ Pinandita.
5. Si bayi
diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si
bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
7. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210
hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus
kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam
kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Tata cara:
1. Pandita /
Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian
terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2. Pemujaan
terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3. Penghormatan
terhadap leluhur.
4. Pemujaan
saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk
wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan
saat pawetonan dan persembahyangan.
8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh
gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh
dengan baik.
Sarana :
Tata Cara :
1. Pemujaan
terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi
natab mohon keselamatan.
3. Selesai
upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya
gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.
9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak
untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Tata Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan
Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan
dengan natab sesayut / tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.
10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak
menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara
Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Tata Cara :
Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama
putra / putri yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita.
Setelah itu dilanjutkan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut
raja singa bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir,
hidup dan mati (kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa
phase yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua
permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat
dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai
teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa
menolak nasehat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung,
artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang
terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi penerusnya.
Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah
suaranya mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan
bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini
seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati
lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan
baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi
melalui dua jalur yaitu, jalur niskala, membersihkan jiwa anak dengan
mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan
wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang
dapat menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus
iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan
Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya
untuk masuk sorga.
11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh
Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Tata Cara :
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala
dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke
hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya
naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin
yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi
bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan
oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang
diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah
dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah
diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang
ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih
lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau
diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di
atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad
Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus),
Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu
yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka
kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada
Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari
mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan
kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama
(dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge
loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam
pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang
tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan
upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”,
yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa
anak-anak menuju ke masa dewasa.
12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan
telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Tata cara
1. Sebelum
upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan
maprayascita.
2. Kemudian
mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali
serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai
wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai
acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan.
Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai
upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar
mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan
keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai
persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa
keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi
tanggung jawab bersama.
- Penentuan
status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim
patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim
patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena
wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di
halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara
yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga )
sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan
( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang
yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang
ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah
tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti
kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala
isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan
dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon
kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati
"Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang
didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
3. Makna Kematian dan Upacaranya
Ngaben merupakan salah satu
upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra
Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis
berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan
akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama
kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu
melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api
sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang
memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya
yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada
Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben
dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) .
Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari
hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara
dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan.
Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka
jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan
pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini
pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah
masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya
seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan
disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan
upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan
masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben
yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini
disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari
orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang
tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya
ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan
upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan
setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu
Pertiwi).
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben
tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan
karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh,
jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan
dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai
badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk
anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk
bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara
konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun
simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna
untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat
dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga
merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha
Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar
tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta
yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku,
dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c.
Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang
membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam
tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara
ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan.