Kamis, 13 Desember 2018

profil dosen pembimbing dan blogger

Mata Kuliah : Hindu Buddha di Indonesia 

Profil Blogger Mata Kuliah Hindu Buddha di Indonesia
kelompok 9:

1. Halim Juniarsyah, 
2. Nadya Rahmaunah Agusty,
3. Tri Alvi Syahrin 


Responding Paper

1. Sejarah Kedatangan awal dan perkembangan agama Hindhu-Budha

Masuknya pengaruh Hindu dan Budha hendaknya jangan dipandang secara sempit hanya dari sudut Agama saja, tetapi hendaknya lebih terhadap pengaruh kebudayaan. Indonesia sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha telah dikenal dengan sistem kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Dahulu yang hanya mempercayai roh-roh dan benda keramat berubah menjadi sedikit lebih tertata baik disegi kebudayaan, pandangan hidup, sosial dan budaya.

Agama Hindu dan Budha berasal dari Jazirah India yang saat ini meliputi wilayah negara India, Pakistan, dan Bengladesh. Dari segi kepercayaan dan lahirnya kedua agama ini sangat jauh berbeda. Diperkirakan agama Hindu telah ada  sekitar 1500 SM sementara Budha sekitar 500 SM, namun berkembangnya ke Indonesia hampir bersamaan.

Berkembangnya kedua agama itu tidak terlepas dari letak geografis Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudra telah menjadikan Indonesia sebagi suatu wilayah jalur perdagangan Internasional saat itu, yang tentunya sering disinggahi para pedagang mancanegara baik dari India, China, Arab dan Persia.

Semua pedagang yang singgah di Indonesia melakukkan hubungan interaksi sosial baik secara budaya maupun politik kepada masyarakat lokal, dan iitu yang membawa masuk agama dan budayaan mereka ke Indonesia.

Proses masukknya budaya dan agama itu mengundang tanda tanya siapa sebenarnya yang membawa masuk kedua agama itu ke Indonesia. Para sejarawan telah mengemukakan berbagai teori dan pandangan siapa pembawa agama itu.

Berikut ada 4 teori yang dikemukakan oleh sejarawan mengenai siapa pembawa agama Hindu dan Budha.

a. Teori Brahmana
Teori Brahmana dikemukkan oleh J. C. Van Leur bahwa golongan Brahmana lah yang sangat berperan penting dalam menyebarkannya ke Indonesia. J. C. Van Leur beralasan bahwa kita-kitab Weda hanya ditulis dan dipahami oleh golongan Brahmana sehingga tidak mungkin golongan lain bisa menyebarkannya ke Indonesia. Selanjutnya J. C. Van Leur mencontohkan bahwa pemimpin-pemimpin lokal yang mengundang golongan Brahmana untuk menyebarkan langsung diwilayah kekuasaan pemimpin-pemimpin lokal itu.

b. Teori Ksatria
Munculnya teori Ksatria dijelaskan oleh C.C. Berg, dimana agama Hindu dibawa langsung ke Indonesia oleh golongan Ksatria (para prajurit kerajaan). C.C. Berg beralasan bahwa diawal-awal tahun pertama Masehi telah terjadi perang dikalangan Istana, sehingga para prajurit mengusir pemberontak hingga keluar India, diperkirakan sampai di Indonesia. Dengan dasar inilah C. C. Berg mengungkapkan bahwa golongan Ksatrialah yang menyebarkan secara langsung agama Hindu ke Indonesia serta membentuk beberapa koloni. 

c. Teori Waisya
Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa masuknya agama Hindu dan Budha ke Indonesia dibawa langsung oleh golongan Waisya, bahkan golongan Waisya itu yang paling dominan dan paling berjasa dalam menyebarkan kebudayaan dan agamanya di Indonesia. Golongan Waisya ialah suatu tatanan kasta yang terdiri dari para pedagang. Teori ini dikemukkan oleh Dr. N. J. Krom. 

d. Teori Sudra
Golongan Sudra merupakan tatanan kasta yang paling rendah, meliputi; budak, pengemis serta golongan rakyat biasa. Golongan Sudra ini dianggap telah menyebarkan langsung agama Hindu dan Budha ke Indonesia sebab orang-orang yang tergolong dalam kasta ini dianggap sebagai orang-orang buangan. Mereka dibuang ke Indonesia bersamaan golongan Wisya dan Ksatria.

Dari beberapa teori bagaimana kedataan agama Hindu dan Budha di atas terdapat beberapa kekurangan, diantaranya dikarenakan kitab-kitab Weda ditulis dalam bahasa Sansekerta jadi tidak mungkin diluar golongan Brahmana dapat menyebarkan secara langsung ke Indonesia. Sebaliknya dalam kepercayaan India kuno golongan Brahmana tidak boleh menyebrang lautan luas, sehingga penyebaran ke Indonesia mustahil dibawa langsung oleh golongan Brahmana.

Menanggapi kelemahan dan kekurangan dalam teori di atas, maka muncullah teori lain yang disebut teori arus balik. Teori arus balik ialah Agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Indonesia sendiri. Para penguasa lokal mengirim utusan untuk belajar langsung ke pusat agama Hindu dan Budha di India. Mereka kemudian pulang dan menyebarkan kepercayaannya ke masyarakat luas.   
(Sumber: http://www.riswanto.com/2013/09/sejarah-masukknya-pengaruh-agama-hindu.html)


2.Perkembangan Agama Hindhu-Budha di Indonesia
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, dan sangat erat kaitanya dengan tindak tutur manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Khususnya  Pulau Jawa tradisi lokal pribumi Jawa sendiri sejak dulu telah mewarnai kebudayaan setempat.  Di tambah lagi dengan masuknya pengaruh dari Hindu-Buddha yang di terima dengan baik dan ramah oleh orang-orang Jawa karena memang banyak kesamaan dengan kepecayaan asli bangsa Indonesia.  Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan serta bangunan-bangunan yang bercorakan Hindu-Buddha, diantaranya:
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak Hindu
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia. Kerajaan ini terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai sendiri diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak Buddha
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya didirikan ± abad ke-7 hingga tahun 1377.  Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya  berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra, tetapi pada perkembangannya wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI BALI
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
    1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
    2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
    3. Masa bercocok tanam
    4. Masa perundagian

3.Ajaran Hindu Dharma Tentang ketuhanan
  1. Konsep Ketuhanan
Dalam sistem kepercayaan agama Hindu memiliki berbagai sifat misalnya saja Monoteime, penteisme, ateisme, politeisme, monisme. Memang dalam memahami ketuhanan agama Hindu itu agak sulit untuk mengetahui secara pastinya apakah ia percaya akan Monoteisme atau Politeisme dan sebagainya. Ini harus menggunakan pengkajian langgsung terhadap orang Hindu itu sendiri supaya kita mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Pada dasarnya dari keseluruan atau inti sari kepercayaan agama Hindu ialah meng-Esa-kan Tuhan-Nya yang dimana mereka itu berkeyakinan bahwa Tuhan itu hanya satu tidak ada yang lain. Akan tetapi mereka menamakannya berbeda beda. Memang kita mengenal bahwa orang hindu itu memiliki tiga tuhan atau yang di sebut dengan Trimurti yaitu Dewa Brahman, Dewa Wisnu, Dewa Siwa.
Sebelum kita membehas lebih jauh kepada Trimurti kita harus tahu juga akan perbedaan konsep Tuhan dan Dewa, karena dalam ketuhanan Hindu itu Dewa itu bukan tuhan akan tetapi reprensentasi dari Tuhan. Maksudnya ialah umat Hindu itu percaya akan Tuhan Yang Maha Esa yang dimana ia itu tidak bisa digambarkan, dinamai, dikasih jenis kelamin dan lain sebagainya akan tetapi manusia juga harus mengenalnya dengan dekat akan tuhan tersebut maka diambilah beberapa kekuatan yang dimiliki oleh Tuhan tersebut misal Sang Pencipta, Sang Pemelihara dan Sang Pelebur.
Pada dasarnya dewa itu merupakan pancaran atau sinar dari Tuhan itu tersebut. Berdasarkan dari segi bahasa kata Dewa berasal dari bahasa sangsekerta “Div” artinya Sinar jadi pengertan Dewa dalam keyakinan agama Hindu ialah merupakan repsentasi dari Tuhan itu sendiri atau sinar dari kemulyaan tuhan itu sendiri.
Apabila kita melihat kebelakan akan perkembangan konsep keTuhanan agama Hindu pada zaman Weda, zaman Brahman, zaman Uphanisad yang dimana konsep ketuhanan mereka masih belum sempurna misalnya saja pada pereodisasi zaman Weda itu umat Hindu masih belum sama sekali mengenal Tuhan mereka akan tetapi mereka masih mempercayai akan kekuatan kekuatan yang ada di sekitar mereka. Maka ketika zaman Brahmana datang mereka mulai mengetahui akan tuhan mereka yang dimana ternyata segala kekuatan yang ada di seluruh dunia ini ada yang mengendalikkan nya yaitu Tuhannya.
Setelah mereka mengetahui Tuhan mereka yang dimana di indonesia itu dinamakan dengan Sang Hyang Widi Wasa berdasarkan dari arti bahasa yaitu “Widhi” ialah “Takdir” sedangkan “Wasa” ialah “Yang Maha Kuasa” jadi bisa dikatakan bahwa Yang maha kuasa yang mentakdirkan segala yang ada. Mereka mulai dari sini mereka memiliki keyakinan yang dimana tidak hanya kepada keyakinan kepeda Tuhanya terhadap kekuatan dan kejadian yang lain misanya saja di agama hindu terdapat lima keyakinan atau Panca Srada : percaya kepada Brahma, percaya kepada Atman, percaya kepada Karma pala, percaya kepada Reingkarnasi, Percaya kepada Moksa.
Seseungguhnya dalam mengetahui Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu itu ada tiga tahapan yaitu Agama Pramana, Anumana Pramana, Pratyaksa Pramana. Ini merupakan tingkatan dalam mengetahui Tuhan dengan menggunakan Filsafat atau Tattwa.
Ada pun maksud dari Agama Pramana ialah ketika seseorang diperlihatkan akan sebuah kebenaran akan tetapi ia hanya mempercayainya saja tidak dengan dikaji atau diteliti lagi. Atau juga bisa dikatakan sebagai sebuah pengetahuan yang didapatkan entah dari para Resi atau dari kitab mereka akan tetapi mereka tidak memperdalam. Misalnya saja umat Hindu mempercayai bahwa Sang Hyang Widi Wasa itu pernah menjelma menjadi sembilan bentuk menurut kitab suci yang mereka baca kemudian mereka langgsung percaya tidak dipahami atau di teliti lagi.
Sedangkan Anumana Pranama ialah cara untuk mengetahui Tuhan dengan menyakini seseuatuberdasarkan perhitungan yang logis yang kemudian diambil sebuah kesimpulan yang logis atau mengambil kesimpulan dari berbagai gejala gejala yang ada di sekitar kita, misalnya saja ketika melihat kenapa Bumi itu bisa memiliki dua waktu antara waktu siang dan waktu malam, kenapa bumi bisa berputar dengan teratur di garis edarnya, kenapa ada hujan, kenapa ada panas dan lain sebagainya. Ini semua pasti ada yang mengendalikannya tidak mungkin mereka bisa ada.
Nah dari sini mereka mulai mengetahui akan adanya Sang Hyang Widhi Wasa yang dimana di dapatkan dari tahapan pengamatan gejala gejala yang ada di sekitar.
Yang ketiga Pratyaksa Panama ini merupaka tahapan menemukan Tuhan dengan secara langsung atau observasi langsung dengan apa kita bisa melakukannya yaitu dengan melakukakn Yoga atau bersemedi dan memuastkan semua pikiran kita terhadapnya, maka kita akan merasakan kedekatan kita dengan Sang Hyang Widi Wasa.


  1. Konsep Trimurti
Seperti yang kami jelaskan diatas bahwa umat hindu menyakini akan tiga dewa yaitu Dewa Brahman, Dewa Wisnu, Dewa Siwa. Pada dasarnya ketika dalam agama Hindu itu mereka mempercayai akan satu Tuhan akan tetapi dalam mengenal akan Tuhannya mereka itu ada tiga seperti yang diatas di sebutakan, yang dimana menurut mereka Sang Hyang Widhi Wasa itu tidak bisa digambarkan, tidak juga bisa di kasih jenis kelamin, tidak juga bisa di sebut namanya.
Akan tetapi dalam mengenal tuhannya mereka mesti memilki sesuatu yang diunggulkan yang dimana ini merukan Sinar dari Sang Hyang Widhi Wasa. pada dasarnya yang memiliki selluruh kekuatan yang ada di alam semesta ini hanya Dia.
Bakan dalam kitab suci mereka di jelaskan Sang Hyang Widhi Wasa itu akan menjelma menjadi sepuluh bentuk yang dimana sembilan bentuknya sudah tinggal bentuk yang kesepuluh. Dalam perubahan bentuk di sebut sebagai Awatara, Tuhan menrasa bahwa di dunia ini Dharama atau kebenaran sudah tidak ada adapun yang hidup hanya Adharma atau kejahatan maka ia turun untuk memberi petujuk bagi umat manusia dan mengalahkan kejahatan dan membela kebenaran. Ada pun sepuluh bentuk itu ialah.
  • Matysa Awatar yang dimana ia menjadi seekor Ikan yang sangat besar, yang telah menyelamatkan manusia dari banjir besar.
  • Kurma Awatara yang dimana ia menjadi seekkor Kura kura raksasa yang telah menumpu dunia ini dari bahaya terbenam.
  • Waraha Awatara yang dimana ia menjadi seekor badak yang agung yang telah menyelamatkan dunia dan mengait dunia dari terbenam.
  • Nara Simba Awatara yang dimana menjadi seseorang yang berkepala Simba (singa) yang dimana ia telah membasmi kekejaman raja Hirinyakasipu yang telah menindas Dharma (kebearan).
  • Wamana Awatara yang dimana ia menjadi seseorang yang kerdil akan tetapi berpengetahuan yang tinggi dan mulia, yang telah menyelamatkan duan dengan mengalahkan Maharaja Bali yang selalu menginjak injak Dharma dan ketidakadilan.
  • Parashurama Awatara yang dimana ia menjadi Rama Pharasu yaitu Rama yang bersenjata kampak yang telah menyelamatkan dunia dengan membasmi segenap Kasatriya yang telah menyeleweng dari Dharma (kebenaran).
  • Rama Awatara yang dimana ia menjadi Sri Rama, Putra raja Dasharata yang telah menyelamatkan dunia dengan membasmi Rawana, raja kedzaliman dan keangkara murkaan di negri Alengka.
  • Kresna Awatara yang dimana ia menjadi Sri Kresna Raja Dwarawati seorang yang terkenal dan yang telah membasmi raja Kangsa dan Jarasada tokoh kedzaliman.
  • Buddha Awatara yang dimana ia menjadi Buddha Gusatama, Putra raja Sudhodana yang lahir di Kapilavastu yang telah menyebarkan Dharma dan memberikan tuntunan bagi manusia.
  • Kalki Awatara yang dimana ini merupakan penjelmaan yang terakhir Sang Hyang Widhi Wasa, yang akan membasmi segala pengkhianatan agama, selain itu juga menutrut kepercayaan umat Hindu Kalki akan turun pada zaman Kaliyuda yaitu zaman yang memuncaknya pertentangan yang dimana ia sekarang masih tidur.


  1. Sembahyang
Dalam setiap agama pasti memiliki Ritual atau Upacara Keagamaan yang dimana dalam agama Hindu dalam melaksanakan Upacara Keagamaan disebutnya dengan Sembahyang. Menurut bahasa sembahyang itu berasal dari kata “Sembah” yaitu Sujud atau sungkem untuk menyampaikan sebuah penghormatan, sedangkan “Hyang” objek nya yaitu Tuhan.
Selain dari kata sembahyang mereka juga sering menyebutnya dengan Muspa atau Membakti atau Maturan. Ada pun kenapa disebut dengan Muspa karena dalam setiap persembahan itu lazimnya dengan kembang, selain itu kata Membakti merupakan ini ti dari sembahyang tersebut ialah penyerahan diri sepenuh hati, sedangkan kata Maturan ini merupakan sebuha persembahan apapun yang mereka hasilkan berdasarkan jerih payah mereka dengan perasaan yang tulus dalam mempersembahkannya seperti Buah-buahan, jajanan dll.
Agama hindu umumya itu sembahyang dua kali akan tetapi di indonesia khususnya di Bali itu tiga kali. Sebelummemulai perSembahyangan ada beberapa yang harus dipersiapkan diantaranya.
  • Hendaknya kita membersihkan diri atau badan dengan mandi
  • Kemudian berpakian, diharuskan memakai pakian yang bersih dan tidak mengganggu persembahyangan atau ketenangan kita.
  • Bunga dan Kawangen, diharuskan memakai Bunga yang bersih dan harum karna ini melambangkan kesucian.
  • Dupa, ini merupakan simbol Hyang agni yang dimana menjadi penghantar dan saksi sembah kita kepada sang Hyang Widhi Wasa.
  • Tempat duduk, kita diharuskan posisi tempat duduk tidak mengganggu ketenangan hati dan harus menggunakan alasnya tikar dengan menghadap ke arah Pelinggih.
  • Ada pun sikap duduk itu sesuai dengan Desa, Kala, Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati ada empat posisi yaitu :
  • Padmasana
  • Siddasana
  • Sukhasana
  • Bajrasana
  • Sikap yangan yang bail ketika waktu sembahyang ialah “Cakupan Kara Kalih” yaitu yaitu telapak tangan ditelupkan didepan ubun-ubun sedangkan Bungan atau Kawagen dijepit di ujung jari.
Ada pun urutan sembahyang mereka ialah :
  • Malukat jadi yang pertama ini sebelum kita masuk kearea Pure kita harus mensucikan diri kita terlebih dahulu dengan air suci (Tirhta)
  • Memasuki Pura kesebelah kiri dan keluar dari Pura kesebelah kanan
  • Sebelum melaksanakan Panca Keraming sembahnyang, hendaknya melakukan Puji Trisadya. Dimana dalam melakukan atau pengucapan Puji Trisadya ini sebaiknya dilakukan dengan konsentrasi yang penuh dan diikuti desah nafas yang halus dan pelan-pelan.
  • Maka setelah melaksanakan Puni Trisadya langsung melaksanakan Panca Keramaning sembah yang dimana ini ada lima
  • Sembah yang pertama ini dengan tangan yang kosong (puyung) yang intinya itu untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
  • Sembah yang kedua, ketiga dan keempat. Dengan memakai bunga dan Kawangen dengan bertujuan untuk mennyampaikan rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian dalam sifat wujud-Nya dalam segala masifestasinya dan kepara dewa serta penyampaiaan permohonan maaf dan permohonan anugrah.
  • Sembah yang kelima ini merupakan sembah penutup dengan tangan kosong. Sebagai rasa terimakasih akan rahmat-Nya dan menghantarkan kembali kealam Ghaib.
  • Setelah melaksanakan persembahyangan orang orang dipercikan “Tirhta Wangsih Barata” sebanyak 3-7 dikepala, 3 kali diminum dan sebanyak 3 kali dibasuhkan ke muka. Yang dimana makna nya ialah agar mereka semua menjadi suci.
  • Setelah melakukan Tirhta kemudia melakukan Mamija atau Mabija ialah beras yang di cuci dengan air atau air cendana dan diharuskan beras yang tidak pecah atau patah patah. 
    4. Ajaran Budha Dhama tentang ketuhanan
     
    A.  Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
    Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
    Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
    Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
    Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
    Buddha tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
    • Buddha Trasenden
    Bagi mereka yang menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai orang hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau perwujudan tuhan yang maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana menyebutkan ada 10 awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan.
    Thuben chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami buddha sebagai manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi buddha.
    • Trikaya
    Hakikat kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
    Keterlibatan dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia. Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis adalah wujud nirmanakaya.
    • Adi Buddha
    Dalam agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
    Adi buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
    Konsep adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
    Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974  tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah  RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”.
    • Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
    Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda, apalagi antar sekte.
    Keyakinan bahwa tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
    Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
    Beriman itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
    Berdasarkan uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta masih banyak lainnya.
    Pendekatan kedua, tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan cemburu, tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana atau tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.
    B.  Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
    Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
    Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
    Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
    Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
    Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
    Itulah makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
    Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
    • Berdoa Bukan Meminta
    Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah. Kepada anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.
    Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa diartikan meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha selalu melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas.
    Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7).
    Semoga aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk 
    Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
    Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan
    Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
    Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
    Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
    Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
    Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa memberi.
    • Parrita dan Mantra
    Parrita adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parrita yang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan.
    Selanjutnya adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata.
    Konsep mantra berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan.
    • Persembahan
    Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri untuk memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima persembahan tanpa membawanya pergi.
    Setiap sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.
    5.Ajaran Hindhu Dharma tentang Manusia dan Alam 
    A.    Penciptaan Manusia
    Dari segi arti katanya, manusia berasal dari kata manushya, artinya "Makhluk yang memiliki pikiran." Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk mengatur dirinya menemui penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia menurut ajaran agama Hindu terdiri dari tubuh dan jiwa atau roh. Tubuh merupakan wujud yang kelihatan dan yang bersifat fana. Ada saatnya nanti tubuh ini mengalami kebinasaan. Sedangkan jiwa atau roh itu bersifat kekal. Hal ini dapat dilihat dari petikan kitab Bhagawad Gitta II.16 dan Bhagawad Gitta II. 20 di bawah ini:
    "Apa yang tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah berhenti ada; keduanya hanya dapat dimengerti oleh orang yang melihat kebenaran. Yang tak pernah lahir dan mati; juga setelah ada tak akan berhenti ada, tidak dilahirkan, kekal, abadi, selamanya, tidak mati dikala tubuh jasmani mati."
    Dalam zaman Brahmana diuraikan bahwa manusia terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang tampak dan tak nampak. Bagian yang tampak disebut rupa, yang tersusun dari lima unsur, yaitu: rambut, kulit, daging, tulang, dan sum-sum. Bagian yang tidak nampak disebut nama, terdiri dari unsur-unsur yang menentukan hidup. yaitu: nafas (prana atau atman), akal (budhi), pemikiran (manas), penglihatan (caksu), dan pendengaran (strotra). Manusia memiliki lima alat pengindraan (Buddhendriya), yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Juga memiliki lima alat bertindak (karmendriya), yaitu: tangan, alat melahirkan (upastha), alat mengeluarkan (payu), kaki, lidah.
    Manusia tediri dari lima skandha (skandha artinya tonggak). Kelima skandha tersebut ialah rupa, wedana, sanna, sankhara, dan winnana. Rupa adalah kerangka anatomis atau alat badani kita, yaitu baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sanna ialah pengamatan dari segala macam, baik yang rohani maupun yang jasmani, yang dengan perantara indra masuk ke dalam kesadaran. Sankhara adalah suatu skandha yang sangat kompleks, yang di dalamnya mengandung kehendak, keinginan dan sebagainya yang menjadikan skandha ini dapat menyusun gambar atau khayalan dari apa yang diamati. Winnana adalah kesadaran. Yang disebut jiwa sebenarnya adalah kelima skandha ini bersama-sama atau satu persatu.
    Dalam diri manusia terdapat atman. Atman tersebut diselubungi oleh beberapa selubung, yaitu dari luar ke dalam: Selubung yang terdiri dari makanan atau tubuh sebagai selubung jasmani (Annamaya atman); Selubung yang di bawah selubung jasmani, yaitu selubung yang di tempati nafas hidup atau prana, yaitu selubung nafas ni (Pranamaya atman); Selubung yang lebih mendalam lagi, yaitu selubung akali (Manomaya atman); lalu terdapat selubung yang terdiri dari kesadaran (Wijnanamaya atman); dan bagian terdalam terdapat atman dalam keadaan bahagia (Anandamaya atman) yaitu inti sari manusia.

    B.     Penciptaan Alam

    Dalam agama Hindu, ajaran mengenai alam semesta tidak begitu jelas. Pengajaran mengenai alam semesta tercakup dalam Kitab Agama atau kitab-kitab tantra. Pokok pengajaran mengenai kitab-kitab ini membicarakan mengenai penciptaan alam semesta, penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat yang tertinggi. Dunia ini keluar dari Brahman, melalui persekutuan antara purusa (jiwa atau inti pribadi perseorangan, yang tidak berubah dan tidak aktif) dan prakrti (bukan jiwa yang badani atau asas yang bersifat kebendaan, tetapi yang dalam keadaan yang semula mewujudkan suatu kesatuan yang tanpa pembedaan). Prakrti mengandung didalamnya triguna atau tiga tabiat, yaitu: sattwa (tabiat terang), rajas (tabiat penggerat), dan tamas (tabiat yang gelap, masa bodoh, malas, dsb). Karena hubungan praktri dengan purusa, nisbah (rasio) antara ketiga tabiat tadi berubah-ubah, yang menyebabkan berkembangnya dunia yang beraneka ragam ini.
    Penciptaan hanya suatu ragam saja dari penjelmaan ilahi. Dunia yang mengalir dari Brahman itu terdiri dari mahabrahmanda atau makrosmos dan bratbrahmanda atau mikrosmos. Mengenai penciptaan ini terdapat berbagai pandangan. Dalam kitab Bhagawad Gitta III.10 dijelaskan mengenai hal ini, sekalipun masih samar-samar:
    "Dahulu kala Hyang Widhi menciptakan manusia dengan jalan yadhnya dan bersabda dengan ini engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan atau khamaduk sesuai dengan keinginanmu."
    (Sumber: Tony Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)
    C.     Hubungan Manusia dan Alam
    Hindu dalam hal ini Veda amat kaya akan konsep yang diulas secara sistimatis dan diakui bersama. Salah satunya adalah konsep Rta dan Yajna dimana ini merupakan perlambang adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dan berbagai ciptaan yang lain dimana semua memiliki arti penting yang sama dalam menjaga ekosistim, yang ketiganya saling membutuhkan satu sama lain, dan saling memberi dan menerima. Ini berbeda dengan kepercayaan lain yang menempatkan manusia sebagai superior dalam ciptaan atau penikmat dari segala yang diciptakan dimana konsep ini memiliki sisi lemah dimana manusia dapat menjadi arogan dan menempatkan alam dan ciptaan yang lain hanya sebagai sapi perahan, manusia hanya mengambil keuntungan dari alam dan ciptaan yang lain tanpa memperhatikan keberlangsungan dari alam tersebut, ini lah terjadi pada saat ini. Kini alam perlahan sudah tidak ramah lagi pada manusia, bencana demi bencana kini hadir, lalu apakah ini cobaan dari Tuhan? Menurut saya ini adalah dampak dari mulai tidak akrabnya manusia dengan alam, manusia berkembang dengan tidak memperdulikan alam.
    Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.
    Rta Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.
    Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsureunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini.
    Ø  AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
    a)      Penciptaan Manusia
    Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.
    Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahir adalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
    Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
    Dharma-dharma itu terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan, yang badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak, kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani kejelasan atau kesadaran.
    Kehidupan manusia ini diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan batin), Sankhara (bentuk-bentuk karma), Patisando Vinarna (kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani) Salayatana (enam landasan India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra (nafsu keinginan); Upadana (melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati (kelahiran); Jasa Marana (tua dan mati).
    b)      Penciptaan Alam
    Terbentuknya alam semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan diri manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini. Hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam semesta, yaitu:
                        i.            Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh makhluk-makhluk berbadan kasar (jasmani).
                      ii.            Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh dewa-dewa yang masih memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak memiliki hawa nafsu.
                    iii.            Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam ini didiami oleh dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini setelah pengheningan cipta (nibana).
    Kisah kejadian alam semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya, Agganna Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan bahwa sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali, maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula makhluk-makhluk yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara spontan sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup dari ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya dikenal sebagai makhluk saja.
    Sebagian makhluk memiliki tubuh yang indah, sebagian makhluk lainnya memiliki tubuh yang buruk. Oleh karena hal ini, mereka memandang rendah makhluk yang bertubuh buruk, sehingga sari tanah yang mereka makan lenyap. Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan menjalar, kemudian timbul sejenis padi purba, namun karena keserakahan dan kemalasan mereka (menuai padi untuk disimpan lama), sehingga batang padi yang dipotong tidak tumbuh lagi dalam waktu yang lama (masa menunggu).
    Berdasarkan apa yang mereka makan, bentuk tubuh mereka semakin padat, dan perbedaan tubuh mereka semakin Nampak jelas. Wanita lebih jelas kewanitaannya (itthilinga) dan laki-laki lebih jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Mulai sejak itu, laki-laki memperhatikan wanita dan wanita memperhatikan laki-laki. Sehingga muncullah nafsu birahi (indriya) yang membara. Sebagai akibat munculnya nafsu ini, mereka melakukan hubungan seks yang kemudian menghasilkan keturunan.
    (Sumber: Tony Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, Pionir Jaya, Bandung: 2011)
    c)      Hubungan Manusia dan Alam
    Pandangan ajaran Buddha terhadap alam (alam semesta)
    Menurut sang Buddha, bahwa sifat segala sesuatu adalah terus berubah (anicca). Begitu pula dengan sifat alam. Alam bersifat dinamis dan kinetik, selalu berproses dengan seimbang. Unsur-unsur alam yang tampak dalam pandangan Buddha ada empat, yakni unsur padat (pathavi), cair (apo), panas (tejo), gerak (vayo).
    Hukum yang berlaku pada alam(alam semesta) dapat dikategorikan dalam lima aturan yang disebut panca niyamadhamma, yaitu utuniyama (hukum fisika), bijaniyama (hukum biologi), cittaniyama (hukum psikologis), kammaniyama (hukum moral), dhammaniyama (hukum kausalitas).
    Pandangan ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
    Makhluk hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna(pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan pikiran), vinnana (kesadaran). Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupadan nama).
    Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta),  tidak memuaskan atau menderita (dukkhata), dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata). Jadi makhluk hidup—manusia dan hewan— sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat anicca, dukkha, dan anatta.
    6. Ajaran Budha Dharma tentang manusia dan alam 
    A.    Penciptaan Manusia
    Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.
    Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahiradalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu[2].
    Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
    Pemikiran tentang adanya manusia itu unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
    Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.[3]
    Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.[4]
    Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
    a)      Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
    b)      Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
    c)      Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
    Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
    Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancurananavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
    Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.[5]

    B.     Penciptaan Alam
    Hakikat kenyataan penciptaan alam adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
    Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia.
    a)      Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
    b)      Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan maha kuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.
    c)      Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”[6]
    Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.[7] Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.[8]
    Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
    a)      Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
    b)      Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
    c)      Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
    d)     Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[9]
    Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.
    Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.
    Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.[10]
    Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolong-golongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka. Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas. Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
    1.      Kamaloka, yaitu alam kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca indranya.[11] Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
    a.       Apaya-Bumi, meliputi:
    1)      Alam neraka
    2)      Alam binatang
    3)      Alam syetan
    4)      Alam raksasa asuro.
    b.      Kamasugatu-Bhumi, meliputi:
    1)      Alam para Dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain,
    2)      Alam dewata yang menikmati ciptaannya sendiri,
    3)      Alam dewata yang menikmati kesenangan,
    4)       Alam dewata Yama,
    5)       Alam 33 dewata
    6)      Alam tempat Maharaja
    7)      Jagat manusia[12]
    Jadi Brahma tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa wujud, alam Brahma berujud dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka dan Bumi loka yaitu alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia. Brahmaloka maupun Kamaloka ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam tersebut masih ada penderitaan, umur tua dan mati.[13]
    Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma. Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
    a.)    Pathama Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama :
    a.       Brahma Parisajja: alam pengikut Brahma
    b.      Brahma Purohita: alam para mentrinya Brahma
    c.       Maha Brahma: alam Brahma yang besar.
    b.)    Dutiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua :
    a.       Brahma Parittabha: alam para Brahma yang kurang bercahaya
    b.      Brahma Appamanabha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
    c.       Brahma Abbhassana: alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
    c.)    Tatiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga :
    a.       Brahma Parittasubha: alam para Brahma yang kurang auranya,
    b.      Brahma Appamanasubha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
    c.        Brahma Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
    d.)   Catutha Jhana Bhumi, yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat :
    a.       Brahma Vehapphala: alam para Brahma yang besar pahalanya,
    b.      Brahma Asannasatta: ialah alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
    c.       Brahma Aviha: alam kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
    d.      Brahma Atappa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
    e.       Brahma Suddassa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
    f.       Brahma Sudassi: alam keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
    g.      Brahma Akanittha: alam kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.[14]
    Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
    a.       Akasanancayatana: keadaan konsepsi ruangan yang tanpa batas,
    b.      Vinnanancayatana: keadaan konsepsi kesadaran yang tanpa batas,
    c.       Akincannayatana: keadaan konspsi kekosongan,
    d.      Nevasannanasannayatana: keadaan konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
    Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat manusia hidup dan tempat makhluk lain.
    Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan  Tuhan, dan Tuhan tidak mengaturnya. Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan Tuhan atau alam mutlak dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat menimbulkan problem metafisika yang tidak habisnya. Segala sesuatu di alam ini dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di mana-mana (hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
    Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat digolongkan menjadi lima:
    a.       Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
    b.      Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
    c.        Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
    d.      Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
    e.       Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
    Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh kekuatan di luar hukum yang berlaku.[15]

    C.    Hubungan Manusia dengan Alam

    Pandangan ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
    Makhluk hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan pikiran), vinnana (kesadaran).[16] Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupa dan nama).
    Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta),[17] tidak memuaskan atau menderita (dukkhata), dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata).[18] Jadi makhluk hidup-manusia dan hewan, sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat anicca, dukkha, dan anatta.

    Kesalingterkaitan makhluk hidup dan lingkungan (alam)
    Sebagai awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-hewan-alam.
    Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
    Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap.Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
    Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
    Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya, saat ini interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi.Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan.Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
    Dari uraian di atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam (lingkungan) saling mempengaruhi. Ketika salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.

    Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam menurut ajaran Buddha
    Setelah mengetahui sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut kacamata Buddhis, sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang saling timbal-balik. Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu berubah atau berproses. Susunan wujud (rupa) manusia juga sama dengan alam menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas unsur padat, cair, panas dan gerak. Satu hal yang membedakan makhluk hidup(manusia dan hewan) dengan alam adalah manusia dan hewan tersusun selain oleh wujud (rupa) juga oleh batin (nama), sedangkan alam terbentuk hanya dari rupa.
    Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling mempengaruhi dan berinteraksi.Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi.Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan mengakibatkan akibat  yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, atau alam.[19]
    Sang Buddha menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia untuk menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasila buddhis aturan pertama sang Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari melukai/menyakiti makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan demikian dikarenakan beliau tahu perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga keseimbangan ekosistem. Beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai tumbuh-tumbuhan.[20] Jadi ajaran Buddha memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi dan berinteraksi.
      
    7. Ajaran Hindhu Dharma tentang Etika(Susila)


    A.    Pengertian Susila
    Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik, mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan.
    Jadi Susila berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong ia berbuat baik dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang selaras dengan ajaran agama atau dharma adalah cermin dari manusia yang Susila. Manusia Susila adalah manusia yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima oleh lingkungan di mana orang itu berada.
    Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Manusia yang susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan oleh orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu menyertainya. Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.
    Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
    Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan.
    Memahami Beberapa Ajaran Agama Hindu yang Berhubungan dengan Susila, Ada banyak pelajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan pemahaman susila di antaranya:
    1.      Filsafat Tat Twam Asi
    Tat Twam Asi berasal dari kata “Tat” yang berarti “Itu”, “Twam” berarti “Kamu”, dan “Asi” berarti “adalah”. Jadi Tat Twam Asi dapat diartikan menjadi “Itu adalah Kamu”. Kata “Itu” dapat pula diartikan sebagai “Dia” sehingga Tat Twam Asi dapat bermakna “Dia adalah Kamu”. Secara bebas dapat pula diterjemahkan menjadi “Kamu adalah Dia” jadi kamu adalah dia itu adalah sama saja. Ini berarti bahwa semua manusia pada hakekatnya adalah sama. Jika dilihat dari segi Atman atau jiwanya, maka Tat Twam Asi dapat diartikan sebagai “jiwa orang itu adalah jiwa kamu”. Jadi Atman orang ini dan Atman orang itu adalah sama. Atman itu memang sama karena bersumber dari percikan sinar suci Tuhan Yang Satu. Semua manusia sebenarnya memang bersaudara.
    Dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan prikemanusiaan dan Pancasila. Konsepsi sila prikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Twanm Asi yang terdapat dalam kitab seci Weda. Dengan demikian, dapat dikatakan ­mengerti dan memahami serta mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran Weda. Karena maksud yang terkandung di dalam ajaran Tat Twain Asi ini “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama”, sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri.
    Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran Agama Hindu Wujud nyata/rill dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotivasi oleh keingina: (kama) manusia yang bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti sebutan manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, ekonomis, dan budaya. Semua itu harus dapat di penuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa mem­perhitungkan situasi dan kondisi serta keterbatasan yang dimilikinya. Betapa pun susah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Di sinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berar masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Kita tahu bahwa berat dan ringan. (Rwabhineda) itu ada dan selalu berdampingan serta sulit dipisahkan keberadaannya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu saling tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan.
    2.      Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
    Cubhakarma berasal dari bahasa sanskerta yang berarti perbuatan baik. Cubhakarma terbagi menjadi 12 yaitu:
    1)      Tri Kaya Parisuda
    Tri Kaya Parisuda berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti tingkah laku dan parisuda mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik).
    Adapun tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah:
    Ø  Manacika (berpikir yang baik dan suci). Seseorang dapat dikatakan manacika apabila ia:
    1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.
    2. Tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya. 
    3. Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
    Ø  Wacika (berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan sebagai wacika, apabila ia:
    1. Tidak mencaci maki orang lain.
    2. Tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
    3. Tidak memfitnah atau mengadu domba
    4. Tidak ingkar janji.
    Ø  Kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat dikatakan kayika, manakala ia:
    1. Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
    2. Tidak berbuat curang, mencuri atau merampok.
    3. Tidak berzina
    2)      Catur Paramita
    Catur Paramita adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian budi luhur yang berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk. Karuna adalah belas kasian atau kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang menghendaki terhapusnya pendertiaan segala makhluk. Mudita artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai orang lain. Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa masunisa kearah kemuliaan.
    3)      Panca Yama Bratha
    Panca Yama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin. Panca Yama Bratha ini terdiri dari lima bagian yaitu Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh makhluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari artinya tidak melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu, dan berarti juga pengendalian terhadap nafsu seks, Satya artinya benar, setia, jujur yang menyebabkan senangnya orang lain. Awyawahara atau Awyawaharita artinya melakukan usaha yang selalu bersumber kedamaian dan ketulusan, dan Asteya atau Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain.
    4)      Panca Nyama Bratha
    Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha ini adalah Akrodha artinya tidak marah, Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat-nasehat guru, Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum, dan Apramada artinya taat tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan ajaran-ajaran suci.
    5)      Sad Paramita
    Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini meliputi: Dana Paramita artinya memberi dana atau sedekah baik berupa materiil maupun spirituil; Sila Paramita artinya berfikir, berkata, berbuat yang baik, suci dan luhur; Ksanti Paramita artinya pikiran tenang, tahan terhadap penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki atau perbuatan tak benar dan kata-kata yang tidak baik; Wirya Paramita artinya pikiran, kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak mengeluh terhadap apa yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini adalah keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk membela dan melaksanakan kebenaran; Dhyana Paramita artinya niat mempersatukan pikiran untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti pemusatan pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan;  Pradnya Paramita artinyaa kebijaksanaan dalam menimbang-nimbang suatu kebenaran.
    6)      Catur Aiswarya
    Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu didasari atas kebenaran; Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir batin yang berguna demi kehidupan seluruh umat manusia. Wairagya artinya tidak ingin terhadap kemegahan duniawi, misalnya tidak berharap-harap menjadi pemimpin, jadi hartawan, gila hormat dan sebagainya; Aiswarya artinya kebahagiaan dan kesejahteraan yang didapatkan dengan cara (jalan) yang baik atau halal sesuai dengan hukum atau ketentuan agama serta hukum yang berlaku di dalam masyarakat dan negara
    7)      Asta Siddhi
    Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana artinya senang melakukan amal dan derma; Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (ketuhanan); Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar; Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketntraman dalam semadhi; Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik; Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan, gila, dan sebagainya. Adi Boktika artinya dapat mengatasi kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti; dan Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.
    8)      Nawa Sanga
    Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha artinya setia terhadap keluarga dan rumah tangga; Andrayuga artinya mahir dalam ilmu dan dharma; Guna bhiksama artinya jujur terhadap harta majikan; Widagahaprasana artinya mempunyai batin yang tenang dan sabar; Wirotasadarana artinya berani bertindak berdasarkan hukum; Kratarajhita artinya mahir dalam ilmu pemerintahan; Tiagaprassana artinya tidak pernah menolak perintah; Curalaksana artinya bertindak cepat, tepat dan tangkas; dan Curapratyayana artinya perwira dalam perang.
    9)      Dasa Yama Bratha
    Dasa Yama Bratha  adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa artinya tidak mementingkan diri sendiri; Ksama artinya suka mengampuni dan  dan tahan uji dalam kehidupan;  Satya artinya setia kepada ucapan sehingga menyenangkan setiap orang; Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti makhluk lain; Dama artinya menasehati diri sendiri; Arjawa artinya jujur dan mempertahankan kebenaran; Priti artinya cinta kasih sayang terhadap sesama mahluk; Prasada artinya berfikir dan berhati suci dan tanpa pamerih; Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun; dan Mardhawa artinya rendah hati; tidak sombong dan berfikir halus.
    10)  Dasa Nyama Bratha
    Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana artinya suka berderma, beramal saleh tanpa pamerih; Ijya artinya pemujaan dan sujud kehadapan Hyang Widhi dan leluhur; Tapa artinya melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang buruk agar dapat mencapai ketenangan batin; Dhyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Hyang Widhi; Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu birahi (seksual); Swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci khususnya, juga pengetahuan umum; Bratha artinya taat akan sumpah atau janji; Upawasa artinya berpuasa atau berpantang trhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang oleh agama; Mona artinya membatasi perkataan; dan Sanana artinya tekun melakukan penyician diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan sembahyang.
    11)  Dasa Dharma
    Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca artinya murni rohani dan jasmani; Indriyanigraha artinya mengekang indriya atau nafsu; Hrih artinya tahu dengan rasa malu; Widya artinya bersifat bijaksana; Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran; Akrodha artinya sabar atau mengekang kemarahan; Drti artinya murni dalam bathin; Ksama artinya suka mengampuni; Dama artinya kuat mengendalikan pikiran; dan Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.
    12)  Dasa Paramartha
    Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa artinya pengendalian diri lahir dan bathin; Bratha artinya mengekang hawa nafsu; Samadhi artinya konsentrasi pikiran kepada Tuhan; Santa artinya selalu senang dan jujur; Sanmata artinya tetap bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan; Karuna artinya kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup; Karuni artinya belas kasihan terhadap tumbuh-tumbuhan, barang dan sebagainya; Upeksa artinya dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk; Mudhita artinya selalu berusaha untuk dapat menyenangkan hati oranglain; dan Maitri artinya suka mencari persahabatan atas dasar saling hormat menghormati.

    3.      Pengertian Acubhakarma (perbuatan tidak baik) beserta jenis-jenisnya
    Acubhakarma adlah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Acubhakarma (perbuatan tidak baik) ini, merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma dan selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah:
           I.            Tri Mala
    Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
        II.            Catur Pataka
    Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk), Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha (membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat suci).
     III.            Panca Bahya Tusti
    Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan menyakiti hati makhluk lain.
     IV.            Panca Wiparyaya
    Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan sesuatu yang telah hilang.
        V.            Sad Ripu
    Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat dengki dan irihati.
     VI.            Sad Atatayi
    Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain; Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam; Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.
    VII.            Sapta Timira
    Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu:  Surupa artinya gelap atau mabuk karena ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan; Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.
    VIII.            Dasa Mala
    Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan sombong; Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti sesama makhluk; dan Kimburu adalah orang pendengki dan iri hati.
    8. Ajaran Budha Dharma tentang Etika(susila)
    A. Pengertian dan macam-macam Sila
    Etika dalam  bahasa yunani yaitu  Ethos. Ajaran Buddha tentang sila adalah  etika Buddhis, kebajikan, atau  perbuatan baik. Buddhagosa dalam  kitab Visuddhimaga menafsirkan sila berbagai berikut : pertama, sila menujukan sikap batin atau  kehendak (cetana). kedua, menunjukan penghindaran (virata) yang  merupakan unsur batin (cetasika). ketiga, menunjukan pengendalian  diri (samvara) dan keempat menunjukan  tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Menurut bahasa kosa kata pali sila dalam artian etika dan dalam penegrtian sempit yaitu moral. Macam0macam sila ada dua yaitu Kusalakama dan Akusalakama yang artinya kusalakama yaitu perbuatan baik dan akusalakama iyalah perbuatan buruk.
    B. Catur Paranitha dan Catur Mara
    Catur Paramitha ialah sifat –sifat Ketuhanan sifat-sifat ini adalah sumber dari kusala-kama yakni perbuatan baik makadari itu umat buddha harus menerapkan sifat-sifat ini yang terdiri dari :
    Metta yaitu cinta kasih universal yang menjadi akar perbuatan baik dengan diterapkannya sifat ini maka dosa akan tertekan
    Karuna yaitu kasih sayang universal karena melihat sesuatu kesesangsaraan. Bila mana ini diterapkan maka lobha akan tertekan
    Mudhita yaitu perasaan simpati universal karena melihat seseorang bahagia atau gembira bila ini berkembang issa akan lenyap
    Upekkha yaitu keseimbangan bathin universal sebagai hasil melaksankan metta dan karuna . Bila ini berkembang maka akan melenyapkan moha.
    Catur Mara yakni sifat setan yang menjadi sumber perbuatan buruk atau bisa dikatakan akusala-kama, makadari itu umat buddha harus membuang jauh-jauh atau menghindari dari perbuatan ini agar 5tidak terus-terusan mengalami kesengsaraan yang terdiri dari :
    Dosa yaitu kebencian yang akar dari perbuatan buruk dan akan lenyap bila diterapkan metta
    Lobha yaitu serakah yang akar dari perbuatan buruk yang apabila diterapkan karuna akan lenyap
    Issa yaitu perasaan tidak senang melihat orang lain bahagia atau bisa dikatakan iri hati bila diterpakan muddhita maka issa akan lenyap
    Moha yaitu kegelisaan bathin akibat dosa, lobha dan issa. Moha artinya kebodohan atau kurangnya pengertian, moha juga disebut ketidaktahuan atau tidak berpengetahuan. Dan apabila diterapkan Upekkha maka moha akan lenyap.
    C. Sila dan Catur Paramitha

                Sila adalah etika sila juga berarti menerapkan suatu perbuatan baik agar hidup menjadi damai dan tentram oleh karena itu sila dan catur paramitha atau disebut perbuatan baik yang terdiri dari sifat ketuhanan sangatlah berkaitan untuk menghasilkan hidup yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Jika dalam kehidupan menerapkan sila dengan perbuatan baik maka akan bisa melenyapkan suatu kesengsaraan.
    9. Ajaran Hindu tentang Catur Marga 


    1.      Catur Marga ialah empat jalan atau cara mengamalkan agama Hindu (Veda) dalam kehidupan dan dalam bermasyarakat. Oleh karena keadaan dan kemampuan lahir-batin umat Hindu tidak semua sama maka Veda mengajarkan Catur Marga (empat jalan) agar semua umat dapat beragama sesuai kemampuannya.
    Bagian-bagian Catur Marga antara lain : 
    • Bhakti Marga : Mengamalkan agama dengan melaksanakan bhakti/sembahyang, cinta kasih terhadap sesama ciptaan Tuhan, baik sesama manusia maupun dengan makhluk lain yang lebih rendah dari manusia yang disertai sarana bhakti. Jadi apabila orang telah bersembahyang dan hidup kasih sayang terhadap sesama makhluk itu berarti telah mengamalkan ajaran Veda melalui jalan bhakti
    • Karma Marga : Mengamalkan agama dengan berbuat Dharma atau kebajikan seperti mendirkan tempat suci (pura) dan merawatnya, menolong orang yang kesusahan, melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga/ anggota masyarakat dan berbagai kegiatan sosial (subhakarma) lainnya yang dilandasi dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab. Itulah pengalaman agama dengan kerja (karma).
    • Jnana Marga : Mengamalkan agama dengan jalan mempelajari, memahami, menghayati, menyebarkan agama dan ilmu pengetahuan-ketrampilan (IPTEK) dalam kehidupan sehari-hari. Jadi berdiskusi, memberi ceramah atau menyebarkan ajaran agama, mengajarkan ketrampilan positif berarti sudah mengamalkan agama melalui Jnana Marga.
    • Raja Marga : Mengamalkan agama dengan melakukan Yoga, bersemadi, tapa atau melakukan Brata (pengendalian diri) dalam segala hal termasuk upawasa (puasa) dan pengendalian seluruh indria.
         Keempat jalan (marga) itu dapat dilakukan diberbagai tempat dan waktu sesuai kemampuan seseorang dan keempatnya tidak dapat dipisahkan karena dalam prakteknya saling berkaitan. Misalnya sembahyang , keempat cara (marga) itu dapat diamalkan sekaligus yaitu :
    - rasa hormat atau berserah merupakan wujud bhakti marga.
    - Menyiapkan sarana kebhaktian merupakan wujud karma marga.
    - Pemahaman tentang sembahyang merupakan wujud jnana marga. 
    - Duduk tegak-tenang-konsentrasi merupakan wjud raja marga.
         Jika direnungkan dan diperhatikan maka sesungguhnya pengamalan agama Hindu sangat mudah, praktis dan lues. Keluesan itu disebabkan karena agama Hindu dapat dilaksanakan :
    - Dengan mempraktekan Catur Marga
    - Oleh seluruh umat tanpa terkecuali
    - Disegala tempat, waktu dan keadaan
    - Tidak harus dengan materi
    - Sesuai dengan kemampuan umat
    - Sesuai dengan adat istiadat karena Hindu menjiwai adat istiadat.
         Demikian agama Hindu dapat diamalkan selama 24 jam setiap hari dengan cara serta bentuk pengamalan  yang beraneka ragam. Untuk itu umat Hindu tidak patut memaksakan bentuk pengamalan agama agar seragam dari segi materi maupun bentuk material lainnya, apalagi keseragaman jumlah uang. Namun yang harus sama dan seragam ialah prinsip dasar ajaran agama. 
    Ada 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Widhi) yaitu :
    • Bhakti Marga
    • Karma Marga
    • Jnana Marga.
    • Yoga Marga
    Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti digunakan untuk menunjukkan cinta kasih kepada subyek yang lebih tinggi statusnya, atau lebih luas lingkupnya misalnya : orang tua, negara, bangsa, Tuhan (Hyang Widhi). Kata cinta kasih digunakan untuk sesama misalnya tunangan, istri/suami, umat sedharma, umat manusia. Orang yang ber-bhakti kepada Hyang Widhi disebut Bhakta.
    Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu PARA BHAKTI dan APARA BHAKTI. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakabhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi. 
    10. Ajaran Hindu tentang Panca Yadnya
     Pengertian Umum Yadnya 

    Pada awalnya banyak orang mengartikan bahwa yadnya semata upacara ritual keagamaan.Pemahaman ini tentu tidak salah karena upacara ritual keagamaan adalah bagian dari yadnya.Namun patut disadari bahwa upacara hanyalah salah satu bentuk Yajna yang paling nampak dengan nyata atau rill..
    Pengertian secara umum yadnya disamakan dengan ritual,sedangkan dalam bahasa sehari-hari, yadnys dimaksudkan sebagai upacara keagamaan. Dalam arti sempit di samakan dengan samskara atau sangaskara yang artinya, dengan melihat mensucikan, membiasakan,menjadikannya sempurna, memberi bentuk,melengkapi, memperindah, membentuk, dan membudayakan.

    Pengertian yanja juga dapat kita lihat dari dua segi yaitu pengertian secara etimologi dan pengertian secara terminology.Secara etemologi kata yajna adalah kata dalam bahasa Sanskrta yang berasal dari urat kata kerja “yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, berkorban.Urat kata kerja “yaj” tersebut kemudian dapat berubah menjadi kata Yajna, Yajus, Yajanadan Yajamana.Yajna berarti pemujaan, persembahan atau korban suci.Yajus berarti aturan tentang yajna.Yajana atau Yajna karma berarti pelaksanaan yajna, sedangkan Yajamana berarti orang yang melakukan Yajna. Secara terminologi kata Yajna memiliki pengertian sebagai berikut :


    1. Yajna ngaraning manghanaken homa. 

    Artinya :
    Yajna artinya mengadakan homa.
    2. Yajna ngaranya “Agnihotradi” kapujan sang hyang Siwagni pinakadinya 
    Artinya :
    Yajna artinya “Agnihotra” yang utama, yaitu pemujaan atau persembahan kepada Sang Hyang Siwa Agni.
    Yang dimaksud dengan homa dalam Wraspati Tattwa mempunyai makna yang sama dengan “Agnihotra” dalam Agastya parwa yaitu pemujaan atau persembahan kepada Ageni antaralain berupa minyak dari biji-bijian(kranatila), madu, kayu cendana(sri wrksa), mentega, susu dan sebagainya seperti digambarkan dalam Kakawin Ramayana I.24-27. Jadi pada prinsipnya pengertian yajna itu pada mulanya berpusat pada pemujaan atau persembahan kepada Agni berupa minyak, susu dan sebagainya. Persembahan (Yajna) tersebut menimbulkan hujan.

    Dari hujan lahirlah makanan.Dari makanan lahirlah mahluk hidup.Sedangkan yajna itu sendiri lahir dari karma (Bhagawadgita III.14), karena Yajna lahir dari karma maka yajana termasuk karma kanda atau karma sanyasa atau prawrti yaitu jalan perbuatan.


    Sejalan dengan perkembangan pola piker manusia yang semakin luas, maka pengertian Yajna pun menjadi luas dan dalam. Tidak saja menyangkut pemujaan dan persembahan kepada Agni saja namun juga kepada aspek yang lain. Agni berkedudukan sebagai prantara yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan atau Dewa-dewa Melaluai Dewa Agni persembahan atau Yajna itu disampakan kepada yang dituju.Jadi secara singkat dapatlah kiranya dikatakan bahwa yang dimaksuddengan Yajna iyu adalah segala bentuk pemujaan atau persembahan dan pengorbanan yang tulus ikhlas yang timbul dari hati yang suci demi maksud-maksudmulia dan luhur.


    Ada beberapa unsur yang mutlak yang terkandung dalam yajna. Unsur-unsur tersebut yaitu : 

    •    Karya (adnya perbuatan) 
    •    Sreya (ketulus ikhlasan) 
    •    Bhakti (persembahan) 
    Jadi semua perbuatan yang berdasarkan dharma dan dilakukan dengan tulus ikhlas dapat disebut yajna. Dalm Bhagawadgita ditegaskan  bahwa belajar dan mengajar didasari oleh keikhlasan serta penuh pegabdian untuk memua Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah tergolong yajna. Memelihara alam lingkungan juga disebut yajna. Mengendalikan hawa nafsu dan panca indria adalah yajna. Demikian pula membaca kitab suci Veda, sastra Agama yang dilakukan dengan tekun dan ikhlas adalah yajna. Saling memelihara, mengasihi sesama mahluk hidup juga disebut yajna. Menolong orang sakit, mengentaskan kemiskinan, menghibur orang yang sedang ditimpa kesusahan adalah yajna. Jadi jelaslah yajna itu bukanlah terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja. Upacara dan upakaranya (sesajen dan alat-alat upakara) merupakan bagian dari yadjnya.

    1. TUJUAN YADNYA

    Dalam banyak sloka dari berbagai kitab menyatakan bahwa alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia; diciptakan , dipelihara dan dikembangkan melalui yadnya. Oleh karena itu maka yadnya yang dilakukan oleh manusia tentu bertujuan untuk mencapai tujuan hidup manusia menurut konsep Hindu yakni Moksartham jagat hita ( Kebahagiaan sekala dan niskala ).
    Dalam rangka mencapai tujuan tertinggi tersebut manusia harus melakukan aktivitas dan berkarma. Paling tidak empat hal yang harus dilakukan manusia yaitu, penyucian diri, peningkatan kualitas diri, sembahyang, dan senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Pencipta.
    Empat hal di atas semuanya dapat dicapai melalui Yadnya. Oleh karena itu tujuan Yadnya adalah :

    a. Untuk Penyucian

    Untuk mencapai kebahagiaan maka hidup ini harus suci.Tanpa kesucian sangat mustahil keharmonisan dan kebahagiaan itu dapat tercapai. Pribadi dan jiwa manusia dalam aktivitasnya setiap hari berinteraksi dengan sesama manusia dan alam lingkungan akan saling berpengaruh. Guna ( sifat satwam, rajas, dan tamas ) orang akan saling mempengaruhi, demikian juga “guna” alam akan mempengaruhi manusia. Untuk mencapai kebahagiaan maka manusia harus memiliki imbangan Guna Satwam yang tinggi.Pribadi dan jiwa manusia harus dibersihkan dari guna rajas dan guna tamas.Melalui Yadnya kita dapat menyucikan diri dan juga menyucikan lingkungan alam sekitar. Jika manusia dan alam memiliki tingkatan guna satwam yang lebih banyak maka keharmonisan alam akan terjadi.Kitab Manawa Dharmasastra V.109 menyatakan :

    “ Adbhirgatrani suddhayanti mana satyena suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhayanti”

    Artinya :

    Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dibersihkandengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar.


    Oleh karena itu jadikanlah aktivitas sehari-hari kita sebagai yadnya.Laksanakan kewajiban diri sendiri dengan penuh kesadaran dan keihlasan sehingga masuk dalam kelompok yadnya.Dengan demikian maka setiap kegiatan yang kita lakukan selalu memberikan kesucian pada diri pribadi.

    Demikian juga untuk kesucian alam dan lingkungan lakukan upacara/ ritual sesuai dengan sastra agama sehingga kita akan senantiasa berada pada lingkungan yang suci. Lingkungan yang suci akan memberikan kehidupan yang suci juga bagi manusia.

    b. Untuk meningkatkan kualitas diri

    Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai. 

    Hanya dilahirkan sebagai manusia memiliki sabda, bayu , dan idep dapat melakukan perbuatan baik sebagai cara untuk meningkatkan kualitas jiwatman, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Sarasamuscaya sloka 2 sebagai berikut :

    Ri sakwehning sarwa bhùta, iking janma wwang juga wénang gumawayakén ikang çubhàçubhakarma, kunéng panéntasakéna ring çubhakarma juga ikangaçubhakarma, phalaning dadi wwang.

    Artinya :

    Diantara semua mahluk hidup , hanya yang dilahirkan sebagai manusia saja yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, oleh karena itu leburlah ke dalam perbuatan baik , segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya menjadi manusia.

    Dari sloka di atas jelas kewajiban hidup manusia adalah untuk selalu meningkatkan kualitas diri melalui perbuatan baik.Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya.Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.


    c. Sebagai sarana menghubungkan diri dengan Tuhan

    Alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia adalah ciptaan Hyang Widhi. Oleh karena itu hidup manusia dalam rangka mencapai tujuannya tidak akan lepas dari tuntunan dan kekuasaan Tuhan. Untuk menjaga agar senantiasa jalan kehidupan kita pada arah yang benar dan selalu mendapat sinar suci serta tuntunan Hyang Widhi maka haruslah kita selalu menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sebagaimana dalam ajaran Tri Hita Karana.Cara paling sederhana menghubungkan diri dengan Tuhan adalah sembahyang.Sembahyang artinya menyembah Hyang Widhi. Jika dalam kehidupan kita senantiasa dapat memusatkan pikiran, memuja Hyang widhi maka tujuan tertinggi pasti akan tercapai sebagaimana sabda Tuhan.
    dalam Bhagawad Gita Bab IX sloka 34 :
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
    Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah pada-Ku, dan tunduklah pada-Ku, dan dengan mendisiplinkan dirimu serta menjadikan-Ku sebagai tujuan, engkau akan sampai kepada-Ku.

    Untuk senantiasa dapat memusatkan pikiran dan memuja Hyang Widhi tidaklah mudah.Perlu kedisiplinan dan keihlasan dalam menjalaninya. Satu-satunya cara agar kita selalu dapat menghubungkan diri dengan Maha Pencipta adalah dengan mempelajari, memahami dan melaksanakan Yadnya. Yadnya dalam kegiatan karma keseharian adalah sarana untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.Terlebih Yadnya dalam bentuk Upacara/ritual jelas merupakan wujud nyata usaha menghubungkan manusia dengan Sang Penciptanya.dc

    d. Sebagai ungkapan rasa terima kasih.

    Manusia memiliki rasa dan pikiran dan dalam tatanan kehidupan sosial terikat pada aturan susila dan moral.Dengan olah rasa yang baik maka rasa syukur merupakan salah satu motivasi utama untuk selalu berbuat kebajikan. Kita diberikan hidup sebagai manusia, dilahirkan pada keluarga yang satwam, berada pada lingkungan sosial yang baik , dan diciptakan bersama bumi yang penuh keindahan dan kedamaian, adalah suatu yang luar biasa. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia bijak untuk tidak bersyukur dan tidak berterima kasih kepada Sang Pencipta.

    Ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Hyang Widhi itulah dilakukan dengan Yadnya

    Bekerja dengan benar dan giat, menolong orang yang kesusahan, belajar giat, dan kegiatan lain yang didasari pengabdian dan rasa ikhlas adalah salah satu contoh ungkapan rasa syukur dan ucapan terima kasih atas anugrah Tuhan untuk kesehatan, keselamatan diri, rejeki, serta kehidupan yang kita terima.

    Upacara/ritual yang dilakukan Umat Hindu baik yang bersifat rutin (contohnya ngejot, maturan sehari-hari dsb ), maupun berkala ( rahinan, odalan, serta hari suci lainnya ) salah satu tujuan utamanya sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Hyang Widhi atas semua anugrah Beliau.


    e. Untuk menciptakan kehidupan yang harmonis

    Hyang Widhi menciptakan alam dengan segala isinya untuk memutar kehidupan.Sekecil apapun ciptaan-Nya memiliki fungsi tersendiri dalam kehidupan ini. Dewa, Asura, manusia, binatang, tumbuhan, bulan, bintang, bahkan bakteri dan kumanpun semuanya memiliki tugas dan fungsi tersendiri dalam memutar kehidupan ini. Alam dengan segala isinya memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu manusia sebagai bagian alam semesta mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas dan fungsinya untuk ikut menciptakan keharmonisan kehidupan. Dalam Bhagawad Gita , III.16 dijelaskan : Pàrtha
    Di dunia ini, mereka yang tidak ikut memutar roda kehidupan ini, pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan nafsu semata dan mengalami penderitaan, wahai 
    Agar perputaran roda kehidupan ini berjalan dengan harmonsi maka peranan manusia sangat penting.Jika manusia dalam melakoni hidup penuh keserakahan dan mengabaikan prinsip-prinsip Dharma maka kehancuran pasti terjadi.
    Hanya dengan Yadnya keharmonisan alam dapat tercipta.Yadnya menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widhi, manusia dengan sesamanya dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
    11. Ajaran Budha tentang Bhavana/Meditasi
    1. PENGERTIAN BHAVANA
    Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
    Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.

    2. FAEDAH BHAVANA
    Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :
    1. Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan.
    2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
    3. Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
    4. Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu.
    5. Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.
    6. Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.
    7. Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya.
    8. Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama.
    9. Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.
    10. Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
    11. Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih mampu daripadanya.
    12. Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya.
    13. Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya.
    14. Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.
    15. Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu.
    16. Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.
    17. Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat dirinya.
    18. Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya.
    19. Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya lagi.
    20. Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam persoalan-persoalan yang remeh.
    21. Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana.
    Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi.
    Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.


    3. CARA MELAKSANAKAN BHAVANA
    Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di tempat yang ramai.
    Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.
    Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring.
    Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam bermeditasi.
    Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.

    Pembagian Bhavana
    Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
    1. Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin.
    2. Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.
    Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup:
    1. Tujuannya Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai kekuatan batin.Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana Bhavana.Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.Sesungguhnya “dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain”.
    2. Obyeknya Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamañña, satu aharapatikulasañña, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau empat satipatthana.
    3. Penghalangnya Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.

    Samatha Bhavana

    1. EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI
    Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru.

    Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
    1. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
      1. Pathavi kasina = wujud tanah
      2. Apo kasina = wujud air
      3. Teja kasina = wujud api
      4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
      5. Nila kasina = wujud warna biru
      6. Pita kasina = wujud warna kuning
      7. Lohita kasina = wujud warna merah
      8. Odata kasina = wujud warna putih
      9. Aloka kasina = wujud cahaya
      10. Akasa kasina = wujud ruangan terbatas
    2. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
      1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
      2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
      3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
      4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
      5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
      6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
      7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
      8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
      9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
      10. Atthika = wujud tengkorak
    3. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
      1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
      2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
      3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
      4. Silanussati = perenungan terhadap sila
      5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
      6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
      7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
      8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
      9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
      10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana
    4. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
      1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
      2. Karuna = belas kasihan
      3. Mudita = perasaan simpati
      4. Upekkha = keseimbangan batin
    5. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
    6. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
    7. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
      1. Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
      2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
      3. Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
      4. Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan
    Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :
    1. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)
      Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah, atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya seperti drum dan lain-lain.Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya. Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja. Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan.
    2. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran)
      Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, “Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari”. Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang membengkak dan lain-lain.
    3. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)
      Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran.Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang telah dilakukannya.Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian akan datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui apa orang akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku setelah kematian.
      Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.
      Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.
      Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir.
    4. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas)
      Empat appamañña ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tua, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus.Akhirnya, yang tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya. Perlu diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih.Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan.Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi.
    5. Satu aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
      Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).
    6. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
      Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :
      1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.
      2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
      3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.
      4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain.
    7. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi)
      Dalam kasinugaghatimakasapaññati, batin yang telah memperoleh gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil membayangkan, “Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!” dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas.Dalam akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, “Tak terbataslah kesadaran itu”. Ia harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.Dalam natthibhavapaññati, orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tanpa batas itu. Ia terus menerus merenungkan, “Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah adanya ini”.Dalam akincaññayatana-citta, orang merenungkan keadaan kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi
    2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA
    Lima macam nivarana

    Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:

    1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
    2. Byapada (kemauan jahat)
    3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
    4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran)
    5. Vicikiccha (keragu-raguan)
    Untuk menaklukkan kelima rintangan tersebut, orang harus mengetahui sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha menghindari sebab-sebab itu serta melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan nivarana itu.
    Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi dengan memakai obyek yang kotor atau menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa merangsang, berusaha untuk menguasai pikiran dan mengendalikan indriya-indriyanya, senantiasa berbicara tentang kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan, bebas dari nafsu-nafsu.
    Kemauan jahat (byapada) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri.
    Kemalasan dan kelelahan (thina-middha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas, kelelahan, mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan, orang hendaknya senantiasa merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa melihat penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
    Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan ketidak-tenteraman pikiran, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran, orang hendaknya senantiasa mempelajari dan memahami kitab suci Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan sempurna.
    Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan, orang hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
    Sepuluh macam palibodha
    Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :

    1. Avasa (tempat tinggal)
    2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
    3. Labha (keuntungan)
    4. Gana (murid dan teman)
    5. Kamma (pekerjaan)
    6. Addhana (perjalanan)
    7. Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara)
    8. Abadha (penyakit)
    9. Gantha (pelajaran)
    10. Iddhi (kekuatan gaib)
    Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi sering juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya. Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya. Ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya. Ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai. Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya. Ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya. Ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magisnya.
    Palibodha ini harus dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik.
    3. ENAM MACAM CARITA
    Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku.

    Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya:

    1. Orang yang keras nafsu lobanya atau Ragacarita
    2. Orang yang keras kebenciannya atau Dosacarita
    3. Orang yang bodoh (dungu) atau Mohacarita
    4. Orang yang tebal keyakinannya atau Saddhacarita
    5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhicarita
    6. Orang yang suka melamun atau Vitakkacarita
    Orang yang mempunyai ragacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan loba, cenderung ke arah keindahan dan kecantikan, kagum melihat suatu kebajikan walaupun itu kecil sekali, mudah melupakan kesalahan orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
    Orang yang mempunyai dosacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka marah, suka jengkel, suka iri hati, tak senang melihat kesalahan walaupun kecil, tak mau tahu terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain. Untuk mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamañña dan empat kasina (nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).
    Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai mohacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.
    Orang yang mempunyai saddhacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, dan devatanussati).
    Orang yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati, aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.
    Orang yang mempunyai vitakkavcarita melaksanakan sesuatu berdasarkan tergesa-gesa, cenderung ke arah kegugupan, kegagalan dalam usaha, suka berteori, pikirannya sering berkeliaran, tidak suka bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita, maka obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.
    Penjelasan:
    Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina, akasa kasina, dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua orang tanpa memperhatikan caritanya.

    4. TIGA MACAM NIMITTA
    Nimitta berarti suatu pertanda atau gambaran yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
    1. Parikamma-Nimitta (gambaran batin permulaan)
    2. Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai)
    3. Patibhaga-Nimitta (gambaran batin berlawanan)
    Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dengan mata, kemudian dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta merupakan gambaran atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta.
    Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi dilihat dengan batin, hingga obyek itu melekat dalam pikiran. Jadi, uggaha-nimitta merupakan gambaran obyek di dalam batin yang sama dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah dipejamkan. Untuk mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang tersebut terdahulu.
    Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi yang telah melekat pada pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek tersebut dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi, patibhaga-nimitta merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya. Untuk mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, dan satu anapanasati.
    5. TIGA MACAM BHAVANA
    Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu :
    1. Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan)
    2. Upacara-Bhavana (perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi)
    3. Appana-Bhavana (perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat)
    Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-bhavana.
    Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki pemusatannya, dan mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini, nivarana telah dapat diatasi. Namun konsentrasi pikiran masih belum mantap. Hal ini dapat disamakan dengan anak kecil yang baru belajar berdiri, namun masih belum mantap, sering jatuh, tetapi ia terus berusaha. Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, devatanussati, marananussati, upasamanussati), satu aharapatikulasanna, dan satu catudhatuvavatthana.
    Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka waktu yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap telah tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai orang yang telah dewasa yang telah dapat berdiri dengan kuat, tak jatuh-jatuh lagi. Di samping nivarana telah dapat diatasi, maka faktor-faktor jhana juga mulai timbul berperanan (vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat dipakai untuk mencapai appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, satu anapanasati, empat appamañña, dan empat arupa.
    6. PENGERTIAN JHANA
    Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat).
    Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera. Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam keadaan ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin masih tetap aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya.
    Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Sewaktu-waktu jhana dapat merosot, karena jhana tidak kekal.
    7. FAKTOR-FAKTOR JHANA
    Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana tersebut ada lima macam, yaitu :
    1. Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
    2. Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat.
    3. Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan.
    4. Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga.
    5. Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat.
    Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedua keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi lonceng. Pada waktu lonceng dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat terkena pukulan merupakan vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu merupakan vicara. Demikian pula ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah berhasil memegang obyek dengan kuat disebut vicara.
    Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun, kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan.
    Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas seperti berikut. Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan merasa sangat haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan ini merupakan piti, karena di sini kegiuran timbul akibat keterbatasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia meminum air itu, maka perasaan berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.
    Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.
    Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana, yaitu dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada, selama itu pula nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka nivarana akan timbul lagi.
    Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.
    8. TINGKAT-TINGKAT JHANA
    Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana. Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ada lima, karena hal ini disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah kesadaran yang berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari manda-puggala (orang yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari vitakka dan vicara kedua-duanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya dapat membuang ‘keadaan batin’ satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang vitakka, dan tatiya-jhana membuang vicara. Tetapi, tikkha-puggala (orang yang cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotoran dari vitakka dan vicara sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka dan vicara sekaligus. Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada empat.
    Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas :
    1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama.
      Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
    2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua.
      Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
    3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga.
      Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan ekaggata.
    4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat.
      Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.
    5. Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima.
      Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.
    6. Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.
    7. Viññanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.
    8. Akincaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
    9. Nevasaññanasaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
    Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas :
    1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
    2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata.
    3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap, karena piti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata.
    4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai lenyap, karena faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di dalam jhana keempat ini hanya ada faktor ekaggata dan ditambah dengan upekkha (keseimbangan batin).
    5. Akasanancayatana-Jhana.
    6. Viññanancayatana-Jhana.
    7. Akincaññayatana-Jhana.
    8. Nevasaññanasaññayatana-Jhana.
    Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
    Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamañña (metta, karuna, dan mudita).
    Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.
    Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa.
    Penjelasan :
    Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua orang untuk mencapai lima rupa jhana.

    9. LIMA MACAM VASI
    Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana.
    Jika seseorang telah mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana), kemudian ia ingin mencapai jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia harus mempunyai lima macam vasi.
    Kelima macam vasi tersebut ialah :
    1. Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.
    2. Samapajjana-vasi, yaitu keahlian dalam memasuki jhana.
    3. Adhitthana-vasi, yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada dalam jhana.
    4. Vutthana-vasi, yaitu keahlian dalam ‘keluar’ dari jhana.
    5. Paccavekkhana-vasi, yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana.
    10. ENAM MACAM ABHIÑÑA
    Abhiñña berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin.
    Abhiñña akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk timbulnya abhiñña ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma (perbuatan baik) dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi yang dapat menimbulkan abhiñña ialah hanya sepuluh kasina.

    Abhiñña itu ada enam macam dan dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhiñña yang duniawi atau lokiya dan abhiñña yang di atas duniawi atau lokuttara.
    Abhiñña yang duniawi (lokiya-abhiñña) terdiri atas lima macam, yaitu :
    1. Iddhividhañana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu :
      1. Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
      2. Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri menjadi tak tampak.
      3. Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana, taman, harimau, wanita cantik, dan lain-lain.
      4. Ñanavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
      5. Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu :
        • Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
        • Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
        • Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
        • Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
        • Kemampuan melawan api.
        • Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan tangannya.
        • Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.
    2. Dibbasotañana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat.
    3. Cetopariyañana atau paracittavijañana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.
    4. Dibbacakkhuñana atau cutupapatañana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing.
    5. Pubbenivasanussatiñana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.
    Abhiñña yang di atas duniawi (lokuttara-abhiñña) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayañana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat.
    Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha bukanlah untuk mendapatkan kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa. Sang Buddha tidak membenarkan siswa-siswaNya melakukan sesuatu yang ajaib dan mujijat, karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka di mata orang lain. Lagipula kegaiban itu bukanlah merupakan hal yang penting dalam mencari kebebasan (Nibbana).

    Vipassana Bhavana


    1. EMPAT MACAM SATIPATTHANA
    Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).
    Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas :
    rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan), sañña-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk pikiran), dan viññana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang disebut pancakkhandha itu adalah makhluk.

    Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas :
    kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).

    Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sendiri. Kaya nupassana adalah rupa-khandha. Vedana-nupassana adalah vedana-khandha. Citta-nupassana adalah Viññana-khandha. Dhamma-nupassana adalah pancakkhandha.
    Sesungguhnya, yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran yang kuat.
    1. Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
      Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar dan masuknya napas). Dalam anapanasati ini, tidak ada tekanan atau paksaan pada pernapasan. Panjang atau pendeknya pernapasan harus disadari, tetapi tidak dibuat-buat atau sengaja diatur. Jadi, bernapas secara biasa dan wajar.Walaupun menurut kebiasaan , kesadaran terhadap pernapasan itu pada tingkat permulaan dianggap sebagai obyek untuk meditasi ketenangan (Samatha Bhavana), yaitu untuk mengembangkan jhana-jhana, ia juga sangat berguna untuk mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana Bhavana). Dalam pernapasan, yang dipakai sebagai suatu obyek perhatian murni, naik turunnya gelombang kehidupan yang tidak kekal, yang timbul tenggelam ini, dapat disadari dengan mudah.Cara meditasi lain yang penting, praktis, dan berguna ialah sadar dan waspada terhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, sewaktu membungkukkan dan melencangkan badan, sewaktu melihat ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, ketika buang kotoran dan kencing, ketika berbicara atau berdiam diri.Di sini tidak dijalankan penyiksaan badan jasmani dengan maksud untuk mengendalikan badan. Tetapi dipergunakan jalan tengah yang sederhana, dengan menyadari timbul dan tenggelamnya bentuk kehidupan setiap saat.
    2. Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
      Di sini direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun perasaan yang acuh tak acuh. Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung, dan kemudian lenyap kembali.Perasaan harus dikendalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini.
    3. Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran).
      Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran sedang dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal itu harus disadari.Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup pada saat ini. Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang akan datang tidak boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak tenaga yang terbuang dengan percuma karena melamunkan keadaan-keadaan yang telah lalu dan mengkhayalkan keadaan yang akan datang. Jadi, keadaan pikiran yang sebenarnya harus diamat-amati, agar batin menjadi bebas dan tidak terikat.
    4. Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).
      Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani).Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana) ialah bahwa apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemauan jahat, kemalasan dan kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, atau keragu-raguan, maka hal itu harus disadari. Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di dalam dirinya, maka hal itu pun harus disadari. Ia tahu bagaimana bentuk-bentuk pikiran itu datang dan timbul. Ia tahu bagaimana sekali timbul, bentuk-bentuk pikiran itu ditaklukkan. Ia tahu bahwa sekali ditaklukkan, bentuk-bentuk pikiran itu tidak akan timbul lagi kemudian.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha) ialah dengan menyadari bahwa inilah bentuk jasmani, inilah perasaan, inilah pencerapan, inilah bentuk pikiran, inilah kesadaran. Ia tahu bagaimana caranya timbul dan bagaimana caranya lenyap.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua bleas ayatana) ialah dengan menyadari bahwa inilah mata dan obyek bentuk, inilah telinga dan obyek suara, inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kecapan, inilah badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran. Ia tahu akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua itu. Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia tahu bagaimana caranya supaya belenggu yang telah dibuang itu tidak timbul lagi kemudian.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul kesadaran (sati), penyelidikan Dhamma yang mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), pemusatan pikiran (samadhi), atau keseimbangan (upekkha), maka hal itu harus disadari. Ia tahu bilamana keadaan-keadaan ini tidak ada di dalam dirinya. Ia tahu bagaimana cara timbulnya, dan bagaimana cara mengembangkannya dengan sempurna.Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) ialah dengan menyadari berdasarkan kesunyataan bahwa inilah penderitaan, inilah asal mula dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan, inilah jalan menuju pemadaman dari penderitaan. Ia merenungkan masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran. Akhirnya, ia hidup bebas tanpa ikatan dalam dunia ini.

    2. SEPULUH MACAM VIPASSANUPAKILESA
    Vipassanupakilesa berarti kekotoran batin atau rintangan yang menghambat perkembangan Pandangan Terang, di dalam melaksanakan Vipassana Bhavana.
    Vipassanupakilesa ini ada sepuluh macam, yaitu :

    1. Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuk dan keadaannya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang menyenangkan.
    2. Piti, ialah kegiuran, yang merupakan perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaannya, yaitu :
      1. Khudaka Piti, ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
      2. Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakkan badan.
      3. Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh, yang suasananya meriang di seluruh badan, seperti ombak laut memecah di pantai.
      4. Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang suasananya seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
      5. Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan, yang suasananya seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjubkan.
    3. Passadi, ialah ketenangan batin, yang seolah-olah orang telah mencapai penerangan sejati.
    4. Sukha, ialah perasaan yang berbahagia, yang seolah-olah orang telah bebas dari penderitaan.
    5. Saddha, ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya.
    6. Paggaha, ialah usaha yang terlalu giat, yang lebih daripada semestinya.
    7. Upatthana, ialah ingatan yang tajam, yang sering timbul dan mengganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini.
    8. Ñana, ialah pengetahuan yang sering timbul dan mengganggu jalannya praktek meditasi.
    9. Upekkha, ialah keseimbangan batin, dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-proses yang timbul
    10. Nikanti, ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek.
    Sepuluh macam vipassanupakilesa ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Ñana, yaitu ñana yang ketiga.

    3. EMPAT MACAM VIPALLASA-DHAMMA
    Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, atau kepalsuan, atau kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa-Dhamma ini ada empat macam dan dapat dibasmi dengan melaksanakan empat macam Satipatthana.
    Keempat macam Vipallasa-Dhamma itu ialah :
    1. Subha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik. Subha-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan kaya-nupassana.
    2. Sukha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang derita sebagai bahagia. Sukha_Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.
    3. Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal. Nicca-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.
    4. Atta-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku. Atta-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.

    4. ENAM BELAS MACAM ÑANA
    Ñana berarti pengetahuan. Apabila orang tekun melaksanakan Vipassana Bhavana, maka akan berkembanglah ñana di dalam dirinya. Ñana itu ada enam belas macam, yaitu :
    1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana, ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (batin) dan rupa (materi).
    2. Paccaya Pariggaha Ñana, ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.
    3. Sammasana Ñana, ialah pengetahuan yang menunjukkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), anatta (tanpa aku).
    4. Udayabbaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai timbul dan lenyapnya nama dan rupa.
    5. Bhanga Ñana, ialah pengetahuan mengenai peleburan/pelenyapan nama dan rupa.
    6. Bhaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
    7. Adinava Ñana, ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
    8. Nibbida Ñana, ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
    9. Muncitukamyata Ñana, ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.
    10. Patisankha Ñana, ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulkan keputusan untuk berlatih terus dengan bersemangat.
    11. Sankharupekkha Ñana, ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.
    12. Anuloma Ñana, ialah pengetahuan mengenai penyesuaian diri dengan Ariya-Sacca (Empat Kesunyataan Mulia), sebagai persiapan untuk memasuki magga (Jalan), mencapai phala (hasil) dari magga itu, dan mendekati Nirvana, dengan melalui anicca, dukkha, dan anatta.
    13. Gotrabhu Ñana, ialah pengetahuan mengenai pemotongan atau pemutusan keadaan duniawi, dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.
    14. Magga Ñana, ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa atau kekotoran batin telah dilenyapkan.
    15. Phala Ñana, ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinnya.
    16. Paccavekkhana Ñana, ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa atau kekotoran batin yang masih ada.
    Enam belas macam ñana tersebut di atas diuraikan agak terperinci seperti di bawah ini.
      1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana
        Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat membedakan nama dari rupa dan rupa dari nama. Umpamanya, dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, naik dan turunnya rongga perut ketika bernapas adalah rupa, sedangkan pikiran yang mengetahui proses itu adalah nama. Gerakan kaki ketika berjalan adalah rupa, sedangkan kesadaran terhadapa hal itu adalah nama.Mengenai membedakan nama dan rupa yang berkenaan dengan panca-indera, dapat dijelaskan sebagai berikut :
        1. Dalam melihat bentuk atau warna, bentuk atau warna itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
        2. Dalam mendengar bunyi, bunyi itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
        3. Dalam mencium bau, bau itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
        4. Dalam mencicipi sesuatu, rasa itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
        5. Dalam menyentuh suatu benda yang dingin, panas, keras, atau lunak, benda itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
    Jadi, kesimpulannya ialah bahwa seluruh badan ini adalah rupa, dan pikiran adalah nama. Yang ada hanya rupa dan nama. Tak ada sesuatu yang disebut makhluk, tak ada pribadi, aku, dia, dan lain-lainnya.
    1. Paccaya Pariggaha Ñana
      Dalam beberapa hal, rupa merupakan sebab, dan nama merupakan akibat. Jadi, kalau rongga perut naik, maka kesadaran akan mengikutinya. Namun, dalam hal lain, nama merupakan sebab, dan rupa merupakan akibat. Jadi, kalau pikiran bergerak, maka gerak jasmani akan mengikutinya. Keinginan duduk merupakan sebab, dan duduk adalah akibatnya.Rongga perut mungkin naik, tetapi tidak ada turun. Rongga perut mungkin turun dengan keras dan tinggal diam dalam keadaan itu. Naik turunnya rongga perut hilang, tetapi kalau dirasakan dengan tangan, proses itu masih tetap ada.Sewaktu-waktu ada perasaan yang sangat tertekan dan kadang-kadang agak kurang, atau merasa diri tidak berhasil. Sering diganggu oleh pemandangan atau khayalan, seperti binatang liar, gunung-gunung, dan lain-lain.Naik turunnya perut dan bekerjanya proses kesadaran itu berlangsung dengan teratur. Kadang-kadang orang dapat terkejut, bergoyang ke muka atau ke belakang. Akhirnya, orang dapat merasakan bahwa kehidupan yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang hanya terbentuk dari rangkaian sebab dan akibat, dan hanya terdiri atas nama dan rupa.
    2. Sammasana Ñana
      Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat merasakan nama dan rupa melalui panca-indera sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu, Anicca (ketidak-kekalan), Dukkha (derita), dan Anatta (tanpa aku).Gerak naiknya perut dan gerak turunnya perut ada tiga bagian, yaitu upada (terjadi), thiti (berlangsung), dan bhanga (lenyap). Naik turunnya perut dapat lenyap sebentar atau dalam waktu yang lama. Pernapasan dapat berlangsung cepat, pelan, halus, atau tertahan.Timbul perasaan tertekan, yang hanya dapat lenyap setelah disadari beberapa kali dengan perlahan-lahan. Pikiran menjadi kacau, yang memperlihatkan adanya kesadaran terhadap Tilakkhana itu.
    3. Udayabbaya Ñana
      Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat menyadari bahwa gerakan naik turunnya perut itu terdiri atas dua, tiga, empat, lima, atau enam tingkat.Naik dan turunnya perut lenyap berselang-seling. Berbagai perasaan lenyap setelah disadari beberapa kali. Terlihat cahaya yang terang, seperti lampu listrik.Permulaan dan pengakhiran dari gerakan naik turunnya perut lebih terasa. Akhirnya, orang akan merasakan bahwa ketika pernapasan berhenti pada waktu beristirahat yang berulang-ulang, badan seperti jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, atau terbang dengan pesawat terbang, atau naik dengan lift, tetapi sebenarnya badan masih tetap diam dan tak bergerak.
    4. Bhanga Ñana
      Pengakhiran dari gerak naik turunnya perut lebih terasa. Naik turunnya perut terasa samar-samar, terasa lenyap, dan kadang-kadang terasa tidak ada apa-apa.Gerakan naik turun dan kesadaran/pikiran (citta) terasa seolah-olah lenyap. Pertama-tama, rupa (materi/jasmani) yang mengendap, tetapi citta masih bergema. Kemudian, gerakan naik turun segera lenyap, demikian pula kesadarannya. Jadi, citta dan obyeknya lenyap bersama-sama.Terasa panas seluruh badan. Terasa diri seperti ditutupi dengan jaring. Segala sesuatu kelihatannya seolah-olah dalam suasana yang penuh kesuraman, sangat kabur, dan remang-remang. Kalau melihat pada langit, seolah-olah ada getaran-getaran di udara. Gerakan naik dan turun sekonyong-konyong berhenti dan sekonyong-konyong timbul lagi.
    5. Bhaya Ñana
      Timbul perasaan takut, tetapi tidak seperti takut ketika melihat hantu atau setan. Tidak merasa bahagia, senang, gembira, atau nikmat. Terasa sakit pada urat-urat syaraf, terutama pada waktu berjalan atau berdiri.Terdapat bahaya dari perubahan-perubahan yang terus menerus di dalam semua bentuk kehidupan. Semua bagian dari benda-benda ini menakutkan. Nama dan rupa yang dianggap sebagai sesuatu yang bagus atau indah, sebenarnya tidak mempunyai inti-sari, dan kosong sama sekali. Setelah nama dan rupa lenyap, tidak ada lagi yang menimbulkan rasa takut.
    6. Adinava Ñana
      Gerakan naik turun menghilang sedikit demi sedikit, dan kelihatannya hanya samar-samar dan suram. Nama dan rupa muncul dengan cepatnya, tetapi dapat juga disadari.Diri terasa buruk, jelek, dan membosankan. Semua bentuk batin dan fisik menyedihkan.
    7. Nibbida Ñana
      Semua obyek kelihatan membosankan dan jelek. Terasa seperti malas, tetapi kemampuan untuk mengenal atau menyadari sesuatu masih berjalan dengan baik. Tak ada keinginan untuk bertemu atau bercakap-cakap dengan orang lain, dan lebih senang tinggal di kamar sendiri saja.Orang merasa bahwa keinginan-keinginan atau cita-citanya yang dahulu, seperti kemasyhuran, kemewahan, kemegahan, dan lain-lainnya tidak lagi merupakan kesenangan dan kegembiraan, bahkan berubah menjadi kebosanan setelah menyadari sendiri bahwa manusia itu tercengkeram dan terseret ke dalam kelapukan. Semua manusia dan makhluk lain, bahkan para dewa dan para brahma tidak ada yang terkecuali semasih diliputi oleh bentuk-bentuk ini, di mana masih ada kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian, dan tidak terdapat perasaan kenikmatan yang sejati. Kebosanan timbul sebagai dorongan yang keras untuk mencari Nibbana.
    8. Muncitukamyata Ñana
      Seluruh badan merasa gatal, seperti digigit-gigit semut, atau seperti ada binatang kecil yang merayap pada muka dan badan. Terasa kurang senang, gelisah dan bosan. Ada keinginan pergi dan menghentikan latihan meditasinya. Ada pula yang ingin pulang karena merasa bahwa paramitanya atau perbuatan-perbuatan baiknya belum cukup kuat.
    9. Patisankha Ñana
      Terasa ditusuk-tusuk di bawah kulit dengan benda-benda tajam di seluruh badan. Timbul bermacam-macam perasaan yang mengganggu, tetapi setelah disadari dua atau tiga kali, semua itu menjadi lenyap. Terasa mengantuk. Badan menjadi kaku, tetapi pikiran masih aktif dan pendengaran masih bekerja. Badan terasa seperti ditindih batu atau kayu. Seluruh badan terasa panas. Muncul perasaan tak senang.
    10. Sankharupekkha Ñana
      Tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan senang, tetapi agak seperti acuh tak acuh. Naik turunnya perut hanya disadari sebagai nama dan rupa saja. Tidak ada perasaan gembira atau perasaan sedih, tetapi pikiran dan kesadaran pada saat itu tetap terang.Ingatan, pengenalan, atau kesadaran tidak mengalami kesukaran-kesukaran.Konsentrasi pikiran berjalan baik, tetap tenang dan halus dalam jangka waktu yang lama, seperti sebuah mobil yang berjalan di atas jalan yang datar dan rata. Ada perasaan puas dan mungkin lupa dengan waktu. Samadhi atau konsentrasi menjadi kuat dan lekat, seperti adonan tepung yang diremas-remas oleh tukang roti yang pandai.Dapat dikatakan bahwa penyadaran dan pengenalan di dalam nama ini berlangsung dengan mudah dan memuaskan. Orang mungkin dapat lupa dengan waktu yang telah dilewatinya dalam latihan itu. Mungkin ia telah duduk selama satu jam atau lebih, padahal mulanya ia ingin bermeditasi hanya 30 menit saja.
    11. Anuloma Ñana
      Di sini Anuloma Ñana diuraikan dalam bentuk Tilakkhana (anicca, dukkha, anatta) sebagai berikut :
      1. Anicca : orang yang biasa melatih diri dalam kebersihan atau kesucian dan sila-sila akan mencapai magga melalui perenungan tentang anicca. Gerakan naik turun perut menjadi cepat, tetapi sekonyong-konyong berhenti. Ia menyadari atau mengetahui dengan terang tentang gerakan naik turun itu yang berhenti, menyadari sikap duduk atau sentuhan-sentuhan badannya dengan jelas. Keadaan pernapasan yang cepat itu adalah corak anicca, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya pernapasan ini adalah anuloma-ñana, tetapi janganlah hendaknya ragu-ragu atau dipikir-pikirkan. Proses berhenti ini harus disadari dengan nyata.
      2. Dukkha : Orang yang biasa melatih diri dalam Samatha (meditasi ketenangan) akan mencapai magga melalui perenungan tentang dukkha. Kalau ia berlatih menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka hal itu akan terhalang. Kalau ia terus melanjutkan menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka terjadilah proses berhenti. Keadaan pernapasan yang terhalang itu adalah corak dari dukkha, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.
      3. Anatta : Orang yang biasa melatih diri dalam Vipassana (meditasi pandangan terang), atau senang dengan Vipassana dalam kehidupannya yang dulu-dulu, akan mencapai magga melalui perenungan tentang anatta. Jadi, naik turunnya perut menjadi tenang dan teratur, jangka waktu dari gerakan naik dan gerakan turun sama, dan kemudian berhenti. Gerak naik turunnya perut, atau sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan kelihatan dengan terang. Keadaan pernapasan yang halus dan teratur itu adalah corak dari anatta, dan pengenalan atau kesadaran yang terang terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.
    12. Gotrabhu Ñana
      Nama-rupa bersama-sama dengan citta (pikiran) yang mengetahui proses berhenti itu menjadi diam, tenang, aman, dan damai. Ini berarti bahwa orang telah mendapat penerangan dengan nibbana sebagai obyeknya. Jadi, kalau pencerapan mulai pecah dan lenyap, maka gotrabhu-ñana tercapai.
    13. Magga Ñana
      Magga timbul langsung pada saat perasaann pecah dan pencerapan kilesa hancur akibat dari putusnya belenggu-belenggu, seperti Sakayaditthi (kekhayalan dari aku), Vicikiccha (keragu-raguan), Silabbataparamasa (ketahyulan tentang upacara).
    14. Phala Ñana
      Phala-ñana adalah hasil dari magga, yang muncul langsung setelah timbulnya magga-ñana. Dalam beberapa saat, dua atau tiga saat, yang menjadi obyek phala-citta adalah nibbana. Ñana ini bersifat lokuttara.
    15. Paccavekkhana Ñana
      Paccavekkhana-Ñana terdiri atas pertimbangan-pertimbangan mengenai masih adanya kilesa (kekotoran batin). Dalam hal ini terdapat lima macam pertimbangan sebagai berikut :
      1. Pertimbangan mengenai magga, yang berarti bahwa kita telah tiba pada magga ini.
      2. Pertimbangan mengenai phala, yang berarti bahwa kita telah mencapai phala atau hasil ini.
      3. Pertimbangan mengenai kilesa yang telah dihancurkan, yang berarti kita telah menghancurkan semua kilesa.
      4. Pertimbangan mengenai kilesa yang belum dihancurkan, yang berarti kita masih memiliki kilesa.
      5. Pertimbangan mengenai nibbana, yang berarti bahwa Dhamma tertentu telah kita capai untuk menuju ke Nibbana sebagai obyek pikiran.
    Demikian proses tersebut dapat timbul di dalam diri seseorang dan dapat
    disadari dengan seksama, jika orang melaksanakan Vipassana Bhavana.



    12. Upaca kelahiran, perkawinan,dan kematian dalam agama Hindu

    1. Makna Kelahiran dan Upacaranya

    Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
    Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalahbrahmacarigrehastawanaprasta, dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa Yadnya seperti :

    1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
    Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .

    Tata Pelaksanaan :
    1. lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
    2. Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
    3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bamboo runcing.
    4. Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si Istri sampai air dan ikannya tumpah.
    5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
    6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab

    2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).
    Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.

    Tata Cara :
    1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
    2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
    3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
    4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.
    Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.

    Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
    • Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
    • Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.

    3. Upacara kepus puser
    Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas.

    Tata Cara :
    1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam "ketupat kukur" (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
    2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
    3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.
    4. Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing.

    4. Upacara bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
    Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati RajaSang AnggapatiBanaspati dan Mrajapati.
    Sarana Upakara yang kecil : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
    Upacara yang biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini hanya ditambah dengan penebusan.
    Upacara yang besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpen tegeh dan diikuti wali joged atau wayang lemah.
    Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si bayi sudah berumur genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pekarangan yaitu di sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling dituakan.

    Tata Cara :
    Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti pokok upacara yang ditujukan :
    Kepada si ibu adalah: banten byakaon dan prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan pengelukatan.
    Kepada si bayi adalah: banten pasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit pengelukatan, dan lainnya.
    Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
    · tumpeng merah untuk di dapur
    · tumpeng hitam untuk di permandian dan
    · tumpeng putih untuk di kemulan.
    Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara lain: peras dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.

    5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
    Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
    Tata cara Untuk upacara kecil:
    1. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
    2. Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.
    Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :
    1. Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
    2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita
    3 Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan
    Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga). Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
    Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.

    6Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara

    Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon.
    Sarana Upakara kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
    Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.
    Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
    Tata Cara :
    1. Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
    2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
    3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
    4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
    5. Si bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
    6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

    7. Upacara satu oton - (Otonan)
    Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

    Tata cara:
    1. Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
    2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
    3. Penghormatan terhadap leluhur.
    4. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
    5. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.

    8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
    Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
    Sarana :
    Tata Cara :
    1. Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
    2. Si bayi natab mohon keselamatan.
    3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

    9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
    Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
    Tata Cara :
    1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
    2. Si anak bersembahyang.
    3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
    4. Si anak diperciki tirtha.

    10. Upacara menek deha (Rajaswala)
    Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

    Tata Cara :
    Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.

    Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
    Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi penerusnya.
    Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.
    Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.
    Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.

    11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
    Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
    Tata Cara :
    1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
    2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
    3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.

    4. Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.

    5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.

    6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.


    Tujuan Upacara Potong Gigi
    Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
    Semaradhana.
    Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
    12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
    Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
    Tata cara
    1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
    2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
    3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
    - Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
    - Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
    - Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
    Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
    Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
    3. Makna Kematian dan Upacaranya
    Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
    Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
    Ngaben Sawa Wedana
    Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
    Ngaben Asti Wedana
    Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
    Swasta
    Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
    Ngelungah
    Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
    Warak Kruron
    Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
    Tujuan Upacara Ngaben
    Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
    1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
    2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
    3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
    12. Upaca kelahiran, perkawinan,dan kematian dalam agama Budha


    A.    Makna Kelahiran dan Upacaranya

    Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma).

    Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.

    Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.

    B.     Makna Perkawinan dan Upacaranya

    Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.

    Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

    Upacara Perkawinan

    A. Tempat upacara
    Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
    cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
    upacara perkawinan.

    B. perlengkapan atau peralatan upacara
    1. Altar dimana terdapat Buddharupang.
    2. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
    3. Tempat dupa
    4. Dupa wangi 9 batang
    5. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
    6. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
    7. Cincin kawin
    8. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
    9. Pita kuning sepanjang 100 cm
    10. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
    11. Surat ikrar perkawinan
    12. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
    C.Pelaksanaan upacara
    1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
    2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
    3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
    4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
    5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
    6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara
    7. Pernyataan ikrar perkawinan
    8. Pemasangan cincin kawin.
    9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
    10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
    11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
    12. Wejangan oleh pandita.
    13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
    14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
    Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).

    Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
    Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.

    C.    Makna Kematian dan Upacaranya

    Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.

    Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha. 

    Proses tumimbal lahir
    Budha menjelaskan peroses tumimbal-lahir  sebagai sebab-musabab yang saling bergantungan. Proses ini terutama berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang pertama.tiada sesuatu yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau makhluk yang mncul tanpa ada sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.

    Kelompok yang tidak tumibal lahir:
    1.  Alam Buddha
    2. Alam Bodhisattva
    3. Alam Pratyeka Buddha
    4. Alam Arhat
    Kelompok yang masih tumimbal lahir :
    1. Alam Dewa
    2. Alam Manusia
    3. Alam Asura
    4. Alam Binatang
    5. Alam Setan Gentayangan
    6. Alam Neraka